Senin, 13 September 2010
KOMUNITAS
Wadah bagi Pemuda/pemudi Pakpak untuk berinteraksi satu sama lain, saling
tukar informasi, mempererat hubungan sebagai satu suku dan menjalin persahabatan.kunjungi situs ini : http://id-id.facebook.com/group.php?gid=307886446718
DANAU SICIKECIKE, KUTA MARGA PAKPAK DAIRI
Sumber: Tarombo Marga Udjung Kalang Simbara Penulis: R.U.S. Udjung (+) Disadur oleh: Fredy W Udjung Kabupaten Dairi sekarang adalah sebagian dari tanah Pakpak. Tanah Pakpak terdiri dari 5 daerah: 1. Pakpak Pegagan 2. Pakpak Keppas 3. Pakpak Simsim 4. Pakpak Kelasen 5. Pakpak Boang Di daerah Pakpak Keppas, khususnya di sub daerah Si Tellu Nempu, Kecamatan Sidikalang, tepatnya beberapa kilometer dari kuta Sitinjo tempat persimpangan (simpang tiga) jalan Sidikalang ke Medan dan ke Dolok Sanggul, sekitar kuta Bangun, nampak di kejauhan suatu bukit. Di atas bukit itu ada danau yang disebut danau Sicikecike. Danau ini dulunya adalah sebuah kuta yang bernama kuta Sicikecike, nama yang kemudian menjadi sebutan danau yang dimaksud. Apa sebabnya kuta itu dahulu disebut nama Sicikecike? Apa kekhususannya? Pada zaman itu banyak nama satu kuta disesuaikan dengan keadaan sekitar, sungai, gunung dan lain sebagainya. Cike adalah nama sejenis tanaman yang banyak dipakai menjadi bahan baku menganyam tikar (Tendellen) yang kualitasnya agak kasar. Cike ini tumbuh di tanah yang berair, pinggir sungai atau rawa-rawa. Oleh karena disekitar banyak tumbuh tanaman Cike, maka kuta itu disebut Sicikecike. Kuta Sicikecike terdiri dari 5-6 rumah sesuai dengan kebiasaan di kuta Pakpak, “uga satu bale”, dibangun menurut arsitektur Pakpak, beratap ijuk aren, tiang kayu bundar besar, dinding dan lantai terbuat dari papan tebal kira-kira 2 inci, berkolong antara 1,5 sampai 2 meter dan tanpa menggunakan paku besi, karena memang pada waktu itu belum ada. Rumah-rumah ini biasanya dihuni 6 sampai 8 keluarga. Maka kuta Sicikecike pada zaman itu bisa dikatakan lumayan besar dan ramai. Di kuta Sicikecike ini dipimpin oleh seorang raja bernama “Raja Naga Jambe” yang memiliki 2 orang istri, berru Saraan yang kemudian melahirkan 3 orang anak: Raja Udjung, Raja Angkat serta Raja Bintang, dan dari berru Padang melahirkan 4 orang anak: Raja Capah, Raja Gajah Manik, Raja Kudadiri dan Raja Sinamo. Keluarga ini serta penghuni lainnya hidup damai dan rukun, berkecukupan sandang dan pangan karena memang di tanah sekitarnya luas dan subur, menghasilkan panen yang melimpah, dalam istilah Toba “Gabe Naniula, Sinur na Pinahan”. Kenapa kuta yang begitu menyenangkan bisa tiba-tiba menjadi danau? Suatu hari Raja Naga Jambe hendak menanam padi, dan menurut kebiasaan, semua penduduk kuta Sicikecike meninggalkan kuta pergi ke ladang Raja Naga Jambe. Hanya satu orang yang ditinggal karena sakit-sakitan, sudah uzur dan tidak mampu membantu lagi, yaitu beru Saraan, isteri pertama Raja Naga Jambe. Menurut kebiasaan, makanan para peserta dimasak di juma. Makanan untuk orang yang ditinggal di kuta, yakni untuk berru Saraan, di antarkan dari ladang. Tentunya beliau berharap ketika makan siang ada yang mengantarkan makanannya. Nyatanya tidak. Semula sabar menunggu, tetapi sesudah “goling ari” belum juga ada yang mengantar makanannya, sedang beliau sudah merasa sangat lapar. Dia mulai gelisah, tidak sabar, merasa sedih tidak diperdulikan. Air matanya meleleh satu per satu. Diusapnya kucing yang berada dipangkuannya, sambil dengan tangisnya mengadukan nasibnya kepada Tuhan. Tiba-tiba saja, langit yang tadinya cerah berganti turun hujan yang lebat bersama taufan sambung menyambung. Dan ketika itulah kuta Sicikecike dengan segala yang berada di atasnya, rumah dan segala isinya serta nenek tua, berru Saraan dengan kucingnya seolah-olah ditelan bumi, kemudian beralih menjadi danau. Itulah danau Sicikecike. Keanehan danau ini, menurut cerita, airnya senantiasa sampai kepinggir atas danau, tidak pernah melimpah bagaimanapun lamanya dan derasnya hujan dan juga tidak pernah surut walaupun saat musim kemarau. Mereka yang pernah mengunjungi danau itu menyatakan pada hari-hari cerah dapat dilihat bahan-bahan kayu bekas tiang, lantai dan dinding rumah. Bagaimana nasib penduduk kuta Sicikecike itu sesudahnya? Sesudah meratapi nasib malang karena tidak mempunya apa-apa lagi, mereka berpencar mencari tempat hidup baru. Demikian pula dengan keluarga Raja Naga Jambe, beserta ketujuh anaknya. Keturunan dari istri pertama pindah bersama Raja Naga Jambe ke daerah kota Sidikalang, tepatnya di persimpangan jalan Pasar Lama ke Kuta Kalang Simbara. Dari kuta itulah kemudian pindah membangun kutanya sendiri. Udjung pindah ke kuta Kalang Batangberuh, Kalangjehe dan Kalangsimbara, Angkat ke kuta Sidiangkat, Bintang ke kuta Tambun dan kuta Bintang. Kuta yang lama yang tua-tua pernah memberi julukan “Kuta Sitellu Nempu” karena dihuni oleh ketiga kakak beradik, tentunya tidak utuh ditinggalkan dan sisa bangunannya lenyap dimakan waktu. Anak-anak dari berru Padang pindah ke tempat berlainan: Capah ke sekitar kuta Bangun, Kudadiri disekitar kuta Sitinjo sekarang, Gajahmanik pindah ke kuta Binara (sekarang Sunge Raya), sebagian marga Capah pindah dari kuta Bangun ke kuta Lae Meang dan sebagian marga Kudadiri pandah dari kuta Sitinjo ke kuta Keneppen (sekarang Kuta Imbaru). Lain dengan Sinamo. Kalau keenam saudaranya tetap bermukim di daerah Pakpak Keppas, Sinamo pinadh ke sekitar Tinada-Parongil di daerah Pakpak Simsim Sekalipun ketujuh marga ini berlainan tempat tinggalnya, mereka tetap mengakui kuta Sicikecike sebagai asal mereka. Hal itu dibuktikan dengan cara bersama-sama melakukan ziarah. Apa yang diutarakan penulis mengenai kuta Sicikecike, tenggelamnya serta beralih menjadi danau, diketahui dari turunan tua-tua. Jika ada yang kurang atau berlebihan, mohon diberitahu agar segera dapat dikoreksi.
Sumber: Tarombo Marga Udjung Kalang Simbara Penulis: R.U.S. Udjung (+) Disadur oleh: Fredy W Udjung Kabupaten Dairi sekarang adalah sebagian dari tanah Pakpak. Tanah Pakpak terdiri dari 5 daerah: 1. Pakpak Pegagan 2. Pakpak Keppas 3. Pakpak Simsim 4. Pakpak Kelasen 5. Pakpak Boang Di daerah Pakpak Keppas, khususnya di sub daerah Si Tellu Nempu, Kecamatan Sidikalang, tepatnya beberapa kilometer dari kuta Sitinjo tempat persimpangan (simpang tiga) jalan Sidikalang ke Medan dan ke Dolok Sanggul, sekitar kuta Bangun, nampak di kejauhan suatu bukit. Di atas bukit itu ada danau yang disebut danau Sicikecike. Danau ini dulunya adalah sebuah kuta yang bernama kuta Sicikecike, nama yang kemudian menjadi sebutan danau yang dimaksud. Apa sebabnya kuta itu dahulu disebut nama Sicikecike? Apa kekhususannya? Pada zaman itu banyak nama satu kuta disesuaikan dengan keadaan sekitar, sungai, gunung dan lain sebagainya. Cike adalah nama sejenis tanaman yang banyak dipakai menjadi bahan baku menganyam tikar (Tendellen) yang kualitasnya agak kasar. Cike ini tumbuh di tanah yang berair, pinggir sungai atau rawa-rawa. Oleh karena disekitar banyak tumbuh tanaman Cike, maka kuta itu disebut Sicikecike. Kuta Sicikecike terdiri dari 5-6 rumah sesuai dengan kebiasaan di kuta Pakpak, “uga satu bale”, dibangun menurut arsitektur Pakpak, beratap ijuk aren, tiang kayu bundar besar, dinding dan lantai terbuat dari papan tebal kira-kira 2 inci, berkolong antara 1,5 sampai 2 meter dan tanpa menggunakan paku besi, karena memang pada waktu itu belum ada. Rumah-rumah ini biasanya dihuni 6 sampai 8 keluarga. Maka kuta Sicikecike pada zaman itu bisa dikatakan lumayan besar dan ramai. Di kuta Sicikecike ini dipimpin oleh seorang raja bernama “Raja Naga Jambe” yang memiliki 2 orang istri, berru Saraan yang kemudian melahirkan 3 orang anak: Raja Udjung, Raja Angkat serta Raja Bintang, dan dari berru Padang melahirkan 4 orang anak: Raja Capah, Raja Gajah Manik, Raja Kudadiri dan Raja Sinamo. Keluarga ini serta penghuni lainnya hidup damai dan rukun, berkecukupan sandang dan pangan karena memang di tanah sekitarnya luas dan subur, menghasilkan panen yang melimpah, dalam istilah Toba “Gabe Naniula, Sinur na Pinahan”. Kenapa kuta yang begitu menyenangkan bisa tiba-tiba menjadi danau? Suatu hari Raja Naga Jambe hendak menanam padi, dan menurut kebiasaan, semua penduduk kuta Sicikecike meninggalkan kuta pergi ke ladang Raja Naga Jambe. Hanya satu orang yang ditinggal karena sakit-sakitan, sudah uzur dan tidak mampu membantu lagi, yaitu beru Saraan, isteri pertama Raja Naga Jambe. Menurut kebiasaan, makanan para peserta dimasak di juma. Makanan untuk orang yang ditinggal di kuta, yakni untuk berru Saraan, di antarkan dari ladang. Tentunya beliau berharap ketika makan siang ada yang mengantarkan makanannya. Nyatanya tidak. Semula sabar menunggu, tetapi sesudah “goling ari” belum juga ada yang mengantar makanannya, sedang beliau sudah merasa sangat lapar. Dia mulai gelisah, tidak sabar, merasa sedih tidak diperdulikan. Air matanya meleleh satu per satu. Diusapnya kucing yang berada dipangkuannya, sambil dengan tangisnya mengadukan nasibnya kepada Tuhan. Tiba-tiba saja, langit yang tadinya cerah berganti turun hujan yang lebat bersama taufan sambung menyambung. Dan ketika itulah kuta Sicikecike dengan segala yang berada di atasnya, rumah dan segala isinya serta nenek tua, berru Saraan dengan kucingnya seolah-olah ditelan bumi, kemudian beralih menjadi danau. Itulah danau Sicikecike. Keanehan danau ini, menurut cerita, airnya senantiasa sampai kepinggir atas danau, tidak pernah melimpah bagaimanapun lamanya dan derasnya hujan dan juga tidak pernah surut walaupun saat musim kemarau. Mereka yang pernah mengunjungi danau itu menyatakan pada hari-hari cerah dapat dilihat bahan-bahan kayu bekas tiang, lantai dan dinding rumah. Bagaimana nasib penduduk kuta Sicikecike itu sesudahnya? Sesudah meratapi nasib malang karena tidak mempunya apa-apa lagi, mereka berpencar mencari tempat hidup baru. Demikian pula dengan keluarga Raja Naga Jambe, beserta ketujuh anaknya. Keturunan dari istri pertama pindah bersama Raja Naga Jambe ke daerah kota Sidikalang, tepatnya di persimpangan jalan Pasar Lama ke Kuta Kalang Simbara. Dari kuta itulah kemudian pindah membangun kutanya sendiri. Udjung pindah ke kuta Kalang Batangberuh, Kalangjehe dan Kalangsimbara, Angkat ke kuta Sidiangkat, Bintang ke kuta Tambun dan kuta Bintang. Kuta yang lama yang tua-tua pernah memberi julukan “Kuta Sitellu Nempu” karena dihuni oleh ketiga kakak beradik, tentunya tidak utuh ditinggalkan dan sisa bangunannya lenyap dimakan waktu. Anak-anak dari berru Padang pindah ke tempat berlainan: Capah ke sekitar kuta Bangun, Kudadiri disekitar kuta Sitinjo sekarang, Gajahmanik pindah ke kuta Binara (sekarang Sunge Raya), sebagian marga Capah pindah dari kuta Bangun ke kuta Lae Meang dan sebagian marga Kudadiri pandah dari kuta Sitinjo ke kuta Keneppen (sekarang Kuta Imbaru). Lain dengan Sinamo. Kalau keenam saudaranya tetap bermukim di daerah Pakpak Keppas, Sinamo pinadh ke sekitar Tinada-Parongil di daerah Pakpak Simsim Sekalipun ketujuh marga ini berlainan tempat tinggalnya, mereka tetap mengakui kuta Sicikecike sebagai asal mereka. Hal itu dibuktikan dengan cara bersama-sama melakukan ziarah. Apa yang diutarakan penulis mengenai kuta Sicikecike, tenggelamnya serta beralih menjadi danau, diketahui dari turunan tua-tua. Jika ada yang kurang atau berlebihan, mohon diberitahu agar segera dapat dikoreksi.
LEGENDA SIMBUYAK-MBUYAK
Pada masa dahulu, di tanah Dairi ada sebuah negeri Urang Julu namanya. Di negeri itulah hidup sebuah keluarga terdiri dari sembilan orang yaitu ibu, bapak dan tujuh orang anaknya. Negeri itu besar dan penduduknya banyak. Nama anak-anaknya itu mulai dari yang paling tua berturut-turut adalah Simbuyak-mbuyak, Turuten, Pinayungen, Maharaja, Tinambunen, Tumangger dan Anak Ampun. Adapun si sulung cacat tubuhnya sejak lahir, yaitu tulang belakangnya sangat lemah. Karena itu dia tak bisa berdiri apalagi berjalan seperti saudara-saudaranya yang lain. Melihat keadaan si sulung yang demikian, orang tua itu dengan bijaksana menasehati anak-anaknya; " Manusia memang menginginkan yang sempurna dan yang baik, tapi Tuhan yang menciptakan kita lebih berkuasa dan lebih menentukan. Jika dikehendakinya dikuranginya kesempurnaan kita, dan jadilah kita seperti abangmu itu. Tetapi walau bagaimana dia adalah yang tertua diantara kalian. Dan dia juga adalah ciptaan Tuhan. Karena itu kalian harus tetap hormat sebagaimana layaknya adik-adik kepada abangnya. Dan jika itu kalian tidak lakukan , maka kalian akan berdosa menurut pandangan Tuhan Yang Maha Pencipta, karena telah membeda-bedakan ciptaan-Nya. Dan semua nasehat itu dilaksanakan dengan baik oleh keenam anaknya itu. Demikianlah ketujuh bersaudara itu hidup rukun dan damai, saling hormat-menghormati satu sama lain. Lama kelamaan meningkat dewasalah anak-anak itu dan sebagaimana biasanya di Tanah dairi, maka pemuda-pemuda yang sudah meningkat dewasa haruslah meninggalkan kampung halaman, merantau ketempat-tempat sekitar, mencari nafkah untuk hidup. Bermacam-macam pekerjaan yang dapat dilakukan pemuda-pemuda pada waktu itu, dan bahkan juga sampai sekarang ini. Umpamanya mereka mencari kemenya, mengambil mayang ataupun mengumpulkan kapur barur di hutan. Ketika itu kapur barus sangat bagus harnya, harganya berimbang dengan harga emas. Hanya emas yang ada waktu itu adalah yang rendah mutunya, yakni 8 karat saja. Demikianlah adik Simbuyakmbuyak telah bertekat hendak pergi merantau mencari kapur barus. Ketika hal itu diberitahukan mereka kepada abangnya itu, maka siabang ini pun menyatakan keinginannya, agar diajak turut bersama-sama. " Kalian ikutkanlah aku dalam rombongan. Setidak-tidaknya aku akan dapat menjaga gubuk kalian pada waktu kalian pergi ke hutan". Begitulah kata Simbuyak-mbuyak kepada adik-adiknya. Akhirnya mereka pun setuju, begitu pula kedua orang tua mereka. Maka berangkatlah ketujuh bersaudara itu. Perjalanan mereka amat sulit, karena melalui hutan dan lembah serta gunung-gunung. Apalagi dalam perjalan itu mereka harus menggendong abangnya secara berganti-ganti. Dan ditempat-tempat tertentu seperti pendakian dan penurunan, Simbuyak-mbuyak mereka tandu bersama-sama. Lama kelamaan sampai jugalah mereka ke hutan yang banyak menghasilkan kapur barus. Mereka memilih lereng gunung Sijagar, tempat membuat gubuk untuk ditinggali selama mencari kapur barus itu. Tempat yang mereka pilih itu tepat dipertengahan lereng gunung itu , sesuai dengan permintaan abang mereka Simbuyak-mbuyak. Caranya mereka menentukan tempat itu ialah dengan jalan mengukur jarak dari kaki sampai ke puncak Gunung. Tepat dipertengahan jarak itu, di lereng gunung Sijagar mereka bangun gubuk. Kayu-kayu yang selama ini dipakai untuk pemikul Simbuyak- mbuyak mereka tanamkan dimuka gubuk. Tak lama kemudian tumbuhlah disana pohon-pohon yang rimbun. Sampai sekarang ini jenis kayu yang berasal dari tanaman Simbuyak-mbuyak dan adik-adiknya itu masih ada disana, begitu juga bekas tempat perumahan mereka. Dari Gunung Sijagar kalau dilayangkan pandang, maka akan jelas terlihat daerah Manduamas dan Boang terbentang luas. Dan jika pandang diarahkan ke tempat yang lebin jauh , mata kita akan tertumbuk denga laut lepas Samudera Indonesia. Di kedua lereng gunung Sijagar mengalir dua buah anak sungai . Keduanya bersatu menjadi sebuah sungai yang lebih luas di dataran rendah, dinamakan sungai Sijagar. Sungai ini kemudian bermuara ke laut. Air sungai Sijagar sangat jernih dan bening, dan rasanya sejuk serta segar. Adapun kebiasaan orang mencari kapur barus ialah sepakat, seia sekata . Adalah pantangan bagi mereka untuk bertengkar dan bersengketa bagi mereka sesama pencari kapur barus. " Hanyalah orang seia sekata saja yang mungkin berhasil dalam usaha mereka ", demikian petua yang harus dipegang teguh oleh para pencari kapur barus itu. Keenam adik Simbuyak-mbuyak mulailah mencari kapur barus ke dalam hutan. Simbuyak-mbuyak sendiri tinggal di gubuk. Sebagai pengisi waktu dia bekerja memintal tali. Ternyata hasil yang diperoleh adik-adiknya itu tidak sebanyak yang diharapkan. Beberapa lama mereka bekerja keras mengumpulkan kapur barus hasilnya tetap mengecewakan mereka. Ada satu hal lagi yang menambah kekecewaan Simbuyak-mbuyak, yakni hasi yang sedikit itu sering-sering habis dimakan abangnya itu. Dengan demikian hanya sedikit saja kapur barus yang dapoat mereka kumpulkan di gubuk mereka. Pada mulanya mereka masih dapat bersabar melihat tingkah laku abangnya. Tetapi lama kelamaan habis juga kesabaran mereka. Pada suatu kali berkata Si Turuten : " Keadaan kita memang tidak adil. Kita semua bekerja keras, tetapi abang kita yang enak-enak saja memakani hasil-hasil yang berdikit-dikit kita kumpilkan. Jika begini terus-terusan, akan sia-sia sajalah jerih payah kita." Apa yang dikatakan Si Turuten dapat dibenarkan oleh yang lain, namun demikian Tinambunen dan Tumangger tetap berusaha menyabarkan . " Kita jangan sampai berselisih", kata yang berdua itu kepada yang lainnya. Kemudian ditunjukkannya jalan, " Jika kesepakatan sudah tidak dapat diteruskan, daripada berselisih ditengah hutan ini, lebih baik pulang saja kerumah orang tua". Akhirnya mereka setuju untguk meneruskan usaha-usaha mencari kapur barus itu. Simbuyak-mbuyak sendiri mengetahui ada rasa tidak senang pada beberapa orang adiknya. Tetapi dia selalu saja berbuat seolah-olah tidak tahu. Dan jika ditanya adiknya apa guna tali yang dipintalnya itu, dia tidak mau menjelaskan, kecuali berkata : " Tunggulah, pada suatu saat nanti, tentu tali ini akan berguna untuk kita semua". Rupanya Simbuyak-mbuyak bukan manusia biasa. Malam hari ketika semua adiknya sudah tidur lelap, maka pergilah dia ke luar menjelajahi hutan. Dia dapat mengetahui mana-mana diantara pohon itu yang berisi kapur barus dan yang tidak. Bahkan dapat juga diketahui sampai bnerapa banyak kapur barus yang ada di dalam pohon . Namun hal itu tidak pernah diceritakannya kepada adik-adiknya. Dipihak adik-adiknya rasa tidak puaspun terus berkembang. Karena tidak ada lagi jalan lain, maka pada suatu kali di desaknyalah abangnya itu agar mengizinkan mereka pulang , dengan alasan untuk mengambil uang belanja ke kampung. " Paling lama kami akan pergi selama lima malam, dan sesudah itu kami akan berada kembali disini", demikian kata mereka. Simbuyak menjawab " Jika memang demikian cara yang baik dan yang kita sepakati , maka saya dapat menerimanya". Pergilah kalian pulang, dan biarkan saya tinggal sendiri di gubuk ini", katanya. Hanya permintaannya , kalau durian istimewa milik mereka dikampung sudah berbuah ranum, agar dia dijepu ke Sijagar. Pada waktu itulah dia akan turut pulang guna berpesta dikampung memakan durian dan memotong ternak peliharaan mereka. Jarak antara Sijagar dengan kampung Urang Julu, kira-kira dua hari perjalanan, Karena itu timbul rasa kasihan dihati Tirambunen dan Tumangger terhadap abangnya yang cacat itu hendak ditinggalkan sendirian di dalam hutan. Yang berdua ini meminta supaya diperbolehkan tinggal untuk menemani Simbuyak-mbuyak. Hal itu tidak disetujui oleh Turuten, juga oleh Simbuyak-mbuyak. Tinambunen dan Tumangger mendesak lagi, agar sebaiknya abangnya yang paling tua itu dibawa saja pulang. " Kami berdualah yang menggendongnya selama dalam perjalanan", kata yang berdua itu. Usul inipun tidak disetujui oleh yang lain. Begitu pula Simbuyak-mbuyak nampaknya lebih suka ditinggalkan dari pada dibawa pulang ke kampung. " Adikku yang aku sayangi", katanya. " Kalian pulanglah bersama-sama. Itulah tandanya seia sekata. Mengenai diriku janganlah kalian susahkan benar. Tinggalkanlah kapur barus yang ada itu untuk bekalku. Jika kalian sampai bertengkar karena keadaanku, itu tidak baik. Tuhan telah menjadikanku dalam keadaan begini. Dan jika karena itu kalian bertengkar itu artinya kita menyesali Maha Pencipta. Tuhan akan marah, dan orang tua kitapun akan marah terhadap tingkah laku kita itu". Begitulah kata Simbuyak-mbuyak kepada adik-adiknya. Pulanglah keenam adik Simbuyak-mbuyak . Kedatangan mereka di Urang Julu disambut kedua orang tuanya dengan pertanyaan, mengapa sampai Simbuyak-mbuyak ditinggalkan sendirian ditengah hutan. Mereka menceritakan pengalaman selama mencari kapur barus dan mempersalahkan perbuatan abangnya. Mereka minta pula, agar sebelum berangkat kembali mencari kapur barus, diadakan dulu pesta makan durian istimewa , dan memotong hewan ternak. Tinambunen dan Tumangger mengingatkan akan pesan abang mereka , agar dijemput ke Sijagar, bila pesta akan diadakan. Maka berangkatlah keduanya. Tanpa menunggu datangnya Simbuyak-mbuyak, Turuten terus saja mengambil galah dan menjolok buah durian istimewa. Durian jatuh dan ternyata masih belum ranum seperti yang dipesankan oleh Simbuyak-mbuyak dulu. Keistimewaan durian yang sebatang itu ialah buahnya hanya satu, tapi bukan main besar dan enak rasanya. Jika buah itu dibelah, maka besar belahannya itu sampai dua hasta. Sesudah buah durian itu jatuh, maka disembelihlah hewan ternak yang paling gemuk, dan berpestalah keempat bersaudara itu dengan tidak disertai oleh saudara mereka yang tiga orang lagi. Di Sijagar, begitu adik-adiknya berangkat, Simbuyak-mbuyak segera menjelmakan dirinya sebagai seorang pemuda yang gagah dan tampan. Ketika pada suatu kali ia pergi mandi ke sungai, didapati beberapa kulit durian hanyut terapung-apung. Dan dengan ilmunya dapat ditangkapnya suara ternak yang disembelih di kampungnya. Sekarang tahulah ia, bahwa adik-adiknya sudah melangsungkan pesta di Urang Julu. Selesai mandi pulanglah Simbuyak-mbuyak ke gubuknya. Mulailah dia bekerja merentangkan tali yang selama ini dipintalnya. Tali itu dihubungkannya dengan semua pohon yang sudah terisi dengan kapur barus di hutan itu. Ada sebatang pohon yang penuh dengan kapur sejak dari akar sampai ke pucuknya. Pohon itu amat besar dan tinggi. Pohon itulah didoakan Simbuyak-mbuyak agar tumbang, dan doanya dikabulkan oleh yang Maha Kuasa. Setelah pohon besar itu jatuh ke tanah, dipotongnyalah sepanjang tujuh depa, tujuh hasta, tujuh jengkal dan tujuh jari. Mendoalah dia kembali, maka terbelah dua kayu itu. Dan kayu itupun bersatu kembal Tinambunen dan Tumangger pun sampailah ke gubuk tempat Simbuyak-mbuyak ditinggalkannya beberapa hari yang lalu. Keduanya tak menampak abangnya di gubuk itu. Yang ada hanyalah tali terentang secara bersimpang siur dari gubuk itu kedalam hutan. Dan didapatinya pula sebatang pohon terletak dihalaman gubuk pondok dan penuh dengan kapur barus. Potongan pohon itu sangat bagus ujung pangkalnya, karena memang disengaja membuatnya demikian. Didekatinya kayu itu, tampak abangnya terbaring didalam belahannya. Mereka berdua membujuk abangnya itu, tetapi tak berhasil. Dari dalam belahan kayu itu terdengar suara Simbuyak-mbuyak menyampaikan pesannya untuk kedua orang tuanya dan handai tolan lainnya. " Sampaikan salamku dan permohonan maafku kepada mereka semua karena aku harus berangkat", katanya. Kepada adiknya berdua itu diberitahukannya, bahwa semua kayu yang kena rentangan tali-temali dari gubuk itu, adalah kayu yang banyak berisi kapur barus. "Itulah kalian ambil sebagai pengganti kapur barus yang habis kumakani selama ini" tambahnya. Diapun mengisahkan rencananya semula, bahwa pesta memakan durian dan menyembelih hewan ternak yang gemuk diadakan untuk menyampaikan doa kepada Tuhan. "Pintaku, agar diriku menjelma menjadi seorang pemuda biasa yang sehat tiada cacat seperti ini", kata Simbuyak-mbuyak. Dikatakannya : "keadaan sudah terlanjur begini, dan terimalah kenyataan ini dengan ikhlas tanpa penyesalan". Kepada adiknya berdua, Tinambunen dan Tumangger diingatkannya, bahwa mereka akan mendapat keturunan yang baik-baik, berbudi dan pandai di kemudian hari. "Itulah karurnia Tuhan Yang Maha Kuasa kepada kalian berdua", kata abangnya. "Akhirnya semacam pertanda di masa yang akan datang, jika kelak kalian melihat banyak burung pamal di tepi laut yang jumlahnya sampai ribuan ekor, jangan heran, itulah kirimanku, sebagai ganti sekapur sirih menjelang ayah bunda serta handai tolan. Burung itu akan sangat jinak, dan akan dimasukinya rumah kalian. Tangkaplah, kemudian sembelih, dan makanlah beramai-ramai kirimanku itu", kata Simbuyak-mbuyak. Pertanda lain yang diberitahukannya adalah : "jika angin bertiup kencang disertai hujan lebat turun dari langit akan ada burung inggal-inggal berterbangan di angkasa. Perhatikanlah ekor burung itu. Kalau ekornya diayunkannya arah ke bawah, itu tandanya telah tiba musim manungal dan menanam padi. Tetapi mungkin juga ekornya digerakkannya arah ke samping, menjadi tanda telah berakhirnya musim manungal. Jangan abaikan tanda-tanda itu karena bila dilanggar tanaman tidak akan menjadi". Sesudah mengucapkan pesan-pesannya itu, minta dirilah Simbuyak-mbuyak kepada kedua adiknya. Begitu suara dari dalam belahan kayu tadi berhenti, maka meluncurlah potongan kayu itu dengan sangat kencangnya. Luncurannya itu seperti perahu yang berlayar dengan lajunya di tengah samudera. Searah dengan tujuan gerak kayu itu, di angkasa terlihat pula serombongan besar burung terbang berkawan-kawan. Kayu tadi meluncur terus dengan suara gemuruh, dan akhirnya mencebur ke dalam laut. Tinambunen dan Tumangger yang sejak tadi terheran saja melihat peristiwa itu, sekarang baru menyadari dirinya. Keduanyapun menangis dengan sejadi-jadinya, karena sangat sedih ditinggalkannya itu. Di kemudian hari ternyata, bahwa pohon-pohon yang dikenai oleh tali-tali Simbuyak-mbuyak memang banyak mengandung kapur barus. Keenam orang adiknya memperoleh hasil yang banyak pula karena itu. Mereka kemudian menjadi kaya. Tentang Simbuyak-mbuyak tak diketahui lagi keadaannya sesudah itu. Hanya saja pernah terjadi para penangkap ikan mendapat perolehan yang banyak di sebuah tempat tak jauh dari pantai. Yang mereka ketahui hanya bahwa ikan yang banyak itu berkumpul di sekitar potongan kayu yang hanyut terapung-apung. Orang menduga mungkin kayu itulah yang dulunya yang dipakai Simbuyak-mbuyak meluncur dari dari lereng gunung Sijagar dan kemudian mencebur ke dalam laut. Dan ketika kayu itu dipukul orang dengan maksud bermain-main, terdengar suara dari dalam. Suara itu meminta agar dia dikeluarkan dari kayu itu. Ketika ditanyakan asal usulnya dia menyatakan tak tahu akan hal itu.
Pada masa dahulu, di tanah Dairi ada sebuah negeri Urang Julu namanya. Di negeri itulah hidup sebuah keluarga terdiri dari sembilan orang yaitu ibu, bapak dan tujuh orang anaknya. Negeri itu besar dan penduduknya banyak. Nama anak-anaknya itu mulai dari yang paling tua berturut-turut adalah Simbuyak-mbuyak, Turuten, Pinayungen, Maharaja, Tinambunen, Tumangger dan Anak Ampun. Adapun si sulung cacat tubuhnya sejak lahir, yaitu tulang belakangnya sangat lemah. Karena itu dia tak bisa berdiri apalagi berjalan seperti saudara-saudaranya yang lain. Melihat keadaan si sulung yang demikian, orang tua itu dengan bijaksana menasehati anak-anaknya; " Manusia memang menginginkan yang sempurna dan yang baik, tapi Tuhan yang menciptakan kita lebih berkuasa dan lebih menentukan. Jika dikehendakinya dikuranginya kesempurnaan kita, dan jadilah kita seperti abangmu itu. Tetapi walau bagaimana dia adalah yang tertua diantara kalian. Dan dia juga adalah ciptaan Tuhan. Karena itu kalian harus tetap hormat sebagaimana layaknya adik-adik kepada abangnya. Dan jika itu kalian tidak lakukan , maka kalian akan berdosa menurut pandangan Tuhan Yang Maha Pencipta, karena telah membeda-bedakan ciptaan-Nya. Dan semua nasehat itu dilaksanakan dengan baik oleh keenam anaknya itu. Demikianlah ketujuh bersaudara itu hidup rukun dan damai, saling hormat-menghormati satu sama lain. Lama kelamaan meningkat dewasalah anak-anak itu dan sebagaimana biasanya di Tanah dairi, maka pemuda-pemuda yang sudah meningkat dewasa haruslah meninggalkan kampung halaman, merantau ketempat-tempat sekitar, mencari nafkah untuk hidup. Bermacam-macam pekerjaan yang dapat dilakukan pemuda-pemuda pada waktu itu, dan bahkan juga sampai sekarang ini. Umpamanya mereka mencari kemenya, mengambil mayang ataupun mengumpulkan kapur barur di hutan. Ketika itu kapur barus sangat bagus harnya, harganya berimbang dengan harga emas. Hanya emas yang ada waktu itu adalah yang rendah mutunya, yakni 8 karat saja. Demikianlah adik Simbuyakmbuyak telah bertekat hendak pergi merantau mencari kapur barus. Ketika hal itu diberitahukan mereka kepada abangnya itu, maka siabang ini pun menyatakan keinginannya, agar diajak turut bersama-sama. " Kalian ikutkanlah aku dalam rombongan. Setidak-tidaknya aku akan dapat menjaga gubuk kalian pada waktu kalian pergi ke hutan". Begitulah kata Simbuyak-mbuyak kepada adik-adiknya. Akhirnya mereka pun setuju, begitu pula kedua orang tua mereka. Maka berangkatlah ketujuh bersaudara itu. Perjalanan mereka amat sulit, karena melalui hutan dan lembah serta gunung-gunung. Apalagi dalam perjalan itu mereka harus menggendong abangnya secara berganti-ganti. Dan ditempat-tempat tertentu seperti pendakian dan penurunan, Simbuyak-mbuyak mereka tandu bersama-sama. Lama kelamaan sampai jugalah mereka ke hutan yang banyak menghasilkan kapur barus. Mereka memilih lereng gunung Sijagar, tempat membuat gubuk untuk ditinggali selama mencari kapur barus itu. Tempat yang mereka pilih itu tepat dipertengahan lereng gunung itu , sesuai dengan permintaan abang mereka Simbuyak-mbuyak. Caranya mereka menentukan tempat itu ialah dengan jalan mengukur jarak dari kaki sampai ke puncak Gunung. Tepat dipertengahan jarak itu, di lereng gunung Sijagar mereka bangun gubuk. Kayu-kayu yang selama ini dipakai untuk pemikul Simbuyak- mbuyak mereka tanamkan dimuka gubuk. Tak lama kemudian tumbuhlah disana pohon-pohon yang rimbun. Sampai sekarang ini jenis kayu yang berasal dari tanaman Simbuyak-mbuyak dan adik-adiknya itu masih ada disana, begitu juga bekas tempat perumahan mereka. Dari Gunung Sijagar kalau dilayangkan pandang, maka akan jelas terlihat daerah Manduamas dan Boang terbentang luas. Dan jika pandang diarahkan ke tempat yang lebin jauh , mata kita akan tertumbuk denga laut lepas Samudera Indonesia. Di kedua lereng gunung Sijagar mengalir dua buah anak sungai . Keduanya bersatu menjadi sebuah sungai yang lebih luas di dataran rendah, dinamakan sungai Sijagar. Sungai ini kemudian bermuara ke laut. Air sungai Sijagar sangat jernih dan bening, dan rasanya sejuk serta segar. Adapun kebiasaan orang mencari kapur barus ialah sepakat, seia sekata . Adalah pantangan bagi mereka untuk bertengkar dan bersengketa bagi mereka sesama pencari kapur barus. " Hanyalah orang seia sekata saja yang mungkin berhasil dalam usaha mereka ", demikian petua yang harus dipegang teguh oleh para pencari kapur barus itu. Keenam adik Simbuyak-mbuyak mulailah mencari kapur barus ke dalam hutan. Simbuyak-mbuyak sendiri tinggal di gubuk. Sebagai pengisi waktu dia bekerja memintal tali. Ternyata hasil yang diperoleh adik-adiknya itu tidak sebanyak yang diharapkan. Beberapa lama mereka bekerja keras mengumpulkan kapur barus hasilnya tetap mengecewakan mereka. Ada satu hal lagi yang menambah kekecewaan Simbuyak-mbuyak, yakni hasi yang sedikit itu sering-sering habis dimakan abangnya itu. Dengan demikian hanya sedikit saja kapur barus yang dapoat mereka kumpulkan di gubuk mereka. Pada mulanya mereka masih dapat bersabar melihat tingkah laku abangnya. Tetapi lama kelamaan habis juga kesabaran mereka. Pada suatu kali berkata Si Turuten : " Keadaan kita memang tidak adil. Kita semua bekerja keras, tetapi abang kita yang enak-enak saja memakani hasil-hasil yang berdikit-dikit kita kumpilkan. Jika begini terus-terusan, akan sia-sia sajalah jerih payah kita." Apa yang dikatakan Si Turuten dapat dibenarkan oleh yang lain, namun demikian Tinambunen dan Tumangger tetap berusaha menyabarkan . " Kita jangan sampai berselisih", kata yang berdua itu kepada yang lainnya. Kemudian ditunjukkannya jalan, " Jika kesepakatan sudah tidak dapat diteruskan, daripada berselisih ditengah hutan ini, lebih baik pulang saja kerumah orang tua". Akhirnya mereka setuju untguk meneruskan usaha-usaha mencari kapur barus itu. Simbuyak-mbuyak sendiri mengetahui ada rasa tidak senang pada beberapa orang adiknya. Tetapi dia selalu saja berbuat seolah-olah tidak tahu. Dan jika ditanya adiknya apa guna tali yang dipintalnya itu, dia tidak mau menjelaskan, kecuali berkata : " Tunggulah, pada suatu saat nanti, tentu tali ini akan berguna untuk kita semua". Rupanya Simbuyak-mbuyak bukan manusia biasa. Malam hari ketika semua adiknya sudah tidur lelap, maka pergilah dia ke luar menjelajahi hutan. Dia dapat mengetahui mana-mana diantara pohon itu yang berisi kapur barus dan yang tidak. Bahkan dapat juga diketahui sampai bnerapa banyak kapur barus yang ada di dalam pohon . Namun hal itu tidak pernah diceritakannya kepada adik-adiknya. Dipihak adik-adiknya rasa tidak puaspun terus berkembang. Karena tidak ada lagi jalan lain, maka pada suatu kali di desaknyalah abangnya itu agar mengizinkan mereka pulang , dengan alasan untuk mengambil uang belanja ke kampung. " Paling lama kami akan pergi selama lima malam, dan sesudah itu kami akan berada kembali disini", demikian kata mereka. Simbuyak menjawab " Jika memang demikian cara yang baik dan yang kita sepakati , maka saya dapat menerimanya". Pergilah kalian pulang, dan biarkan saya tinggal sendiri di gubuk ini", katanya. Hanya permintaannya , kalau durian istimewa milik mereka dikampung sudah berbuah ranum, agar dia dijepu ke Sijagar. Pada waktu itulah dia akan turut pulang guna berpesta dikampung memakan durian dan memotong ternak peliharaan mereka. Jarak antara Sijagar dengan kampung Urang Julu, kira-kira dua hari perjalanan, Karena itu timbul rasa kasihan dihati Tirambunen dan Tumangger terhadap abangnya yang cacat itu hendak ditinggalkan sendirian di dalam hutan. Yang berdua ini meminta supaya diperbolehkan tinggal untuk menemani Simbuyak-mbuyak. Hal itu tidak disetujui oleh Turuten, juga oleh Simbuyak-mbuyak. Tinambunen dan Tumangger mendesak lagi, agar sebaiknya abangnya yang paling tua itu dibawa saja pulang. " Kami berdualah yang menggendongnya selama dalam perjalanan", kata yang berdua itu. Usul inipun tidak disetujui oleh yang lain. Begitu pula Simbuyak-mbuyak nampaknya lebih suka ditinggalkan dari pada dibawa pulang ke kampung. " Adikku yang aku sayangi", katanya. " Kalian pulanglah bersama-sama. Itulah tandanya seia sekata. Mengenai diriku janganlah kalian susahkan benar. Tinggalkanlah kapur barus yang ada itu untuk bekalku. Jika kalian sampai bertengkar karena keadaanku, itu tidak baik. Tuhan telah menjadikanku dalam keadaan begini. Dan jika karena itu kalian bertengkar itu artinya kita menyesali Maha Pencipta. Tuhan akan marah, dan orang tua kitapun akan marah terhadap tingkah laku kita itu". Begitulah kata Simbuyak-mbuyak kepada adik-adiknya. Pulanglah keenam adik Simbuyak-mbuyak . Kedatangan mereka di Urang Julu disambut kedua orang tuanya dengan pertanyaan, mengapa sampai Simbuyak-mbuyak ditinggalkan sendirian ditengah hutan. Mereka menceritakan pengalaman selama mencari kapur barus dan mempersalahkan perbuatan abangnya. Mereka minta pula, agar sebelum berangkat kembali mencari kapur barus, diadakan dulu pesta makan durian istimewa , dan memotong hewan ternak. Tinambunen dan Tumangger mengingatkan akan pesan abang mereka , agar dijemput ke Sijagar, bila pesta akan diadakan. Maka berangkatlah keduanya. Tanpa menunggu datangnya Simbuyak-mbuyak, Turuten terus saja mengambil galah dan menjolok buah durian istimewa. Durian jatuh dan ternyata masih belum ranum seperti yang dipesankan oleh Simbuyak-mbuyak dulu. Keistimewaan durian yang sebatang itu ialah buahnya hanya satu, tapi bukan main besar dan enak rasanya. Jika buah itu dibelah, maka besar belahannya itu sampai dua hasta. Sesudah buah durian itu jatuh, maka disembelihlah hewan ternak yang paling gemuk, dan berpestalah keempat bersaudara itu dengan tidak disertai oleh saudara mereka yang tiga orang lagi. Di Sijagar, begitu adik-adiknya berangkat, Simbuyak-mbuyak segera menjelmakan dirinya sebagai seorang pemuda yang gagah dan tampan. Ketika pada suatu kali ia pergi mandi ke sungai, didapati beberapa kulit durian hanyut terapung-apung. Dan dengan ilmunya dapat ditangkapnya suara ternak yang disembelih di kampungnya. Sekarang tahulah ia, bahwa adik-adiknya sudah melangsungkan pesta di Urang Julu. Selesai mandi pulanglah Simbuyak-mbuyak ke gubuknya. Mulailah dia bekerja merentangkan tali yang selama ini dipintalnya. Tali itu dihubungkannya dengan semua pohon yang sudah terisi dengan kapur barus di hutan itu. Ada sebatang pohon yang penuh dengan kapur sejak dari akar sampai ke pucuknya. Pohon itu amat besar dan tinggi. Pohon itulah didoakan Simbuyak-mbuyak agar tumbang, dan doanya dikabulkan oleh yang Maha Kuasa. Setelah pohon besar itu jatuh ke tanah, dipotongnyalah sepanjang tujuh depa, tujuh hasta, tujuh jengkal dan tujuh jari. Mendoalah dia kembali, maka terbelah dua kayu itu. Dan kayu itupun bersatu kembal Tinambunen dan Tumangger pun sampailah ke gubuk tempat Simbuyak-mbuyak ditinggalkannya beberapa hari yang lalu. Keduanya tak menampak abangnya di gubuk itu. Yang ada hanyalah tali terentang secara bersimpang siur dari gubuk itu kedalam hutan. Dan didapatinya pula sebatang pohon terletak dihalaman gubuk pondok dan penuh dengan kapur barus. Potongan pohon itu sangat bagus ujung pangkalnya, karena memang disengaja membuatnya demikian. Didekatinya kayu itu, tampak abangnya terbaring didalam belahannya. Mereka berdua membujuk abangnya itu, tetapi tak berhasil. Dari dalam belahan kayu itu terdengar suara Simbuyak-mbuyak menyampaikan pesannya untuk kedua orang tuanya dan handai tolan lainnya. " Sampaikan salamku dan permohonan maafku kepada mereka semua karena aku harus berangkat", katanya. Kepada adiknya berdua itu diberitahukannya, bahwa semua kayu yang kena rentangan tali-temali dari gubuk itu, adalah kayu yang banyak berisi kapur barus. "Itulah kalian ambil sebagai pengganti kapur barus yang habis kumakani selama ini" tambahnya. Diapun mengisahkan rencananya semula, bahwa pesta memakan durian dan menyembelih hewan ternak yang gemuk diadakan untuk menyampaikan doa kepada Tuhan. "Pintaku, agar diriku menjelma menjadi seorang pemuda biasa yang sehat tiada cacat seperti ini", kata Simbuyak-mbuyak. Dikatakannya : "keadaan sudah terlanjur begini, dan terimalah kenyataan ini dengan ikhlas tanpa penyesalan". Kepada adiknya berdua, Tinambunen dan Tumangger diingatkannya, bahwa mereka akan mendapat keturunan yang baik-baik, berbudi dan pandai di kemudian hari. "Itulah karurnia Tuhan Yang Maha Kuasa kepada kalian berdua", kata abangnya. "Akhirnya semacam pertanda di masa yang akan datang, jika kelak kalian melihat banyak burung pamal di tepi laut yang jumlahnya sampai ribuan ekor, jangan heran, itulah kirimanku, sebagai ganti sekapur sirih menjelang ayah bunda serta handai tolan. Burung itu akan sangat jinak, dan akan dimasukinya rumah kalian. Tangkaplah, kemudian sembelih, dan makanlah beramai-ramai kirimanku itu", kata Simbuyak-mbuyak. Pertanda lain yang diberitahukannya adalah : "jika angin bertiup kencang disertai hujan lebat turun dari langit akan ada burung inggal-inggal berterbangan di angkasa. Perhatikanlah ekor burung itu. Kalau ekornya diayunkannya arah ke bawah, itu tandanya telah tiba musim manungal dan menanam padi. Tetapi mungkin juga ekornya digerakkannya arah ke samping, menjadi tanda telah berakhirnya musim manungal. Jangan abaikan tanda-tanda itu karena bila dilanggar tanaman tidak akan menjadi". Sesudah mengucapkan pesan-pesannya itu, minta dirilah Simbuyak-mbuyak kepada kedua adiknya. Begitu suara dari dalam belahan kayu tadi berhenti, maka meluncurlah potongan kayu itu dengan sangat kencangnya. Luncurannya itu seperti perahu yang berlayar dengan lajunya di tengah samudera. Searah dengan tujuan gerak kayu itu, di angkasa terlihat pula serombongan besar burung terbang berkawan-kawan. Kayu tadi meluncur terus dengan suara gemuruh, dan akhirnya mencebur ke dalam laut. Tinambunen dan Tumangger yang sejak tadi terheran saja melihat peristiwa itu, sekarang baru menyadari dirinya. Keduanyapun menangis dengan sejadi-jadinya, karena sangat sedih ditinggalkannya itu. Di kemudian hari ternyata, bahwa pohon-pohon yang dikenai oleh tali-tali Simbuyak-mbuyak memang banyak mengandung kapur barus. Keenam orang adiknya memperoleh hasil yang banyak pula karena itu. Mereka kemudian menjadi kaya. Tentang Simbuyak-mbuyak tak diketahui lagi keadaannya sesudah itu. Hanya saja pernah terjadi para penangkap ikan mendapat perolehan yang banyak di sebuah tempat tak jauh dari pantai. Yang mereka ketahui hanya bahwa ikan yang banyak itu berkumpul di sekitar potongan kayu yang hanyut terapung-apung. Orang menduga mungkin kayu itulah yang dulunya yang dipakai Simbuyak-mbuyak meluncur dari dari lereng gunung Sijagar dan kemudian mencebur ke dalam laut. Dan ketika kayu itu dipukul orang dengan maksud bermain-main, terdengar suara dari dalam. Suara itu meminta agar dia dikeluarkan dari kayu itu. Ketika ditanyakan asal usulnya dia menyatakan tak tahu akan hal itu.
Sada mo nina lubang ni sige
Sada mamo mahan ngerit ngeriten
Sai mersada mo kita karina
Nalako ki pe maju suku nta en
Kabang mo nina kaliki
Seng ngep i babo pola
Manang i dike pe kita bagendari
Dak mersada mo atenta
SUMBER : PAKPAK ONLINE.COM
Sada mamo mahan ngerit ngeriten
Sai mersada mo kita karina
Nalako ki pe maju suku nta en
Kabang mo nina kaliki
Seng ngep i babo pola
Manang i dike pe kita bagendari
Dak mersada mo atenta
SUMBER : PAKPAK ONLINE.COM
Pelleng salah satu jenis masakan khas yang hanya dikenal di kalangan masyarakat Pakpak. Pelleng disajikan bila mana ada hajatan atau peristiwa-peristiwa dalam keluarga atau desa. Misalnya dalam tahapan produksi pertanian, hendak meminang, merantau, menjelang ujian, saat lulus, upacara menanda tahun, dan sebagainya. Pokoknya yang berhubungan dengan merkottas tidak lepas dari sajian pelleng. Tujuannya tergantung jenis peristiwa atau upacara. Bila hendak membuka ladang agar terhindar dari bahaya. Bila hendak merantau agar berhasil diperantauan. Bila hendak meminang agar pinangan diterima. Bila selesai panen, lulus ujian, diterima kerja sebagai ucapan syukur pada penguasa dan sebagainya. Pelleng bagi masyarakat Pakpak ada dua jenis, yaitu pelleng khas Simsim, Kelasen dan Boang serta pelleng khas Kepas dan Pegagan. Fungsi dan maknanya sama, yang membedakan hanya pengolahannya. Berikut akan dijelaskan bahan dan pengolahan pelleng khasn pertama.
Bahan-bahan:
1. Beras secukupnya.
2. Ayam jantan 1 ekor
3. Cabe merah
4. Asam cikala
5. Santan kelapa secukupnya
6. Arbuk
7. Bawang gandera,
8. Daun Salam
9. Serei dan bumbu lainnya
10. Garam secukupnya
Pengolahan: Beras dimasak layaknya menanak nasi tapi dikondisikan lebih lunak, selanjutnya dicampur dengan cara diaduk atau ditumbuk dengan kuah yang telah dimasak sebelumnya yang disebut lae asem. Kuah (lae asem) dibuat dari asam cikala, bumbu dan santan kelapa. Secara terpisah ayam digule tanpa mencincang tapi harus mersendihi sebagai lauknya. Arbuk dibuat dari beras yang digonseng selanjutnya ditumbuk, diayak dan dimasak dengan kuah ayam gule hingga kental. Tek-tek adalah bagian-bagian tertentu dari ayam yang dicincang untuk dijadikan lauk bersama arbuk di atas pelleng yang disajikan. Penyajiannya dengan cara menyendok pelleng keatas piring lalu dibentuk sedemikian rupa, lalu diatasnya ditaruh tek-tek bersama arbuk ditambah lalap cabe merah di atasnya. Kadang-kadang ditambah dengan lalap petai atau jengkol.
Posted By : Samudera Berutu
Dikutip dari Majalah/Buletin Rintis Prana Edisi-VII Thn ke-II (April-Mei) 2000
Bahan-bahan:
1. Beras secukupnya.
2. Ayam jantan 1 ekor
3. Cabe merah
4. Asam cikala
5. Santan kelapa secukupnya
6. Arbuk
7. Bawang gandera,
8. Daun Salam
9. Serei dan bumbu lainnya
10. Garam secukupnya
Pengolahan: Beras dimasak layaknya menanak nasi tapi dikondisikan lebih lunak, selanjutnya dicampur dengan cara diaduk atau ditumbuk dengan kuah yang telah dimasak sebelumnya yang disebut lae asem. Kuah (lae asem) dibuat dari asam cikala, bumbu dan santan kelapa. Secara terpisah ayam digule tanpa mencincang tapi harus mersendihi sebagai lauknya. Arbuk dibuat dari beras yang digonseng selanjutnya ditumbuk, diayak dan dimasak dengan kuah ayam gule hingga kental. Tek-tek adalah bagian-bagian tertentu dari ayam yang dicincang untuk dijadikan lauk bersama arbuk di atas pelleng yang disajikan. Penyajiannya dengan cara menyendok pelleng keatas piring lalu dibentuk sedemikian rupa, lalu diatasnya ditaruh tek-tek bersama arbuk ditambah lalap cabe merah di atasnya. Kadang-kadang ditambah dengan lalap petai atau jengkol.
Posted By : Samudera Berutu
Dikutip dari Majalah/Buletin Rintis Prana Edisi-VII Thn ke-II (April-Mei) 2000
MEMBUAT GINARU POTE
Satu lagi makanan tradisional suku pakpak yaitu “Ginaru Pote¨. Ginaru pote bukan makanan sehari-hari tetapi dihidangkan hanya pada waktu-waktu tertentu , biasanya dibuat ketika musim pote atau petai berbuah . Selain itu menunggu beras mening (menir) di rumah hingga banyak karena dulu tidak ada yang menjual beras mening. Mening didapat ketika menampi beras .Bahan-bahan
1.Singkong sebagai bahan pokok.
2.Pote ( petai)
3.Bawang rumbai
4.Kunyit
5.garam sedikit
6.Jahe
7.Cabe
8.Tuba
9.Batang srei 2 buah
10.Daun Salam 5 lembar
11.Beras Mening (Menir) ½ mug
Persiapan bahan-bahan:
1.Kupas singkong dan potong-potong dengan ukuran sekitar 5 - 7 cm, kemudian dibelah-belah menjadi 4 bagian (cuci hingga bersih).
2.Siapkan bumbu dengan menumbuk garam, cabe, jahe,kunyit dan tuba hingga halus.
3.Petai dikupas dan dibelah menjadi dua.
4.Hancurkan batang srei
Cara memasak :
1. Letakkan singkong kedalam koden (periuk), isi air hingga melebihi singkong lalu direbus .
2.setelah mendidih dan singkong mulai matang , masukkan bumbu yang sudah dihaluskan , aduk hingga rata.
3.Masukkan srei dan daun salam, bawang rumbai .
4.Masukkan mening/menir kedalam periuk.
5.Terakhir masukkan petai kedalam periuk . Aduk hingga merita dan periuk di tutup.
6.5 menit kemudian buka periuk dan aduk-aduk supaya mening matang merata . Lakukan berulang-ulang hingga mening dan singkong matang.
Ginaru Pote enak dimakan ketika masih hangat-hangat. emm ..enaknya . Air liur anda mengalir....masaklah Ginaru pote..... (SB/Yogya).
SEJARAH DAN BEBERAPA LEGENDA PADA MARGA MATANARI PAKPAK PEGAGAN
Sub-Suku BatakSuku Batak adalah berasal dari keturunan Melayu Tua (Proto Melayu) yang berasal dari (imigran) Hindia Belakang/Selatan (keturunan bangsa Yunani), dan kemudian kawin dengan Melayu Muda (Deutro Melayu). Proto Melayu (Melayu Tua) yang menjadi Suku Batak, datang dari dua arah yaitu pertama dari pantai barat pulau Sumatera (baik imigran dari Hindia Belakang maupun Transmigran dari kerajaan Sriwijaya maupun Kerajaan Melayu Jambi) yang sebahagian masuk dari daerah Barus, dan kedua adalah dari arah pantai Timur pulau Sumatera terutama dari daerah Aceh Timur (kerajaan Haru, kerajaan Tamiang, dan lain lain). Deutro Melayu (Melayu Muda) masuk melalui pantai Timur pulau Sumatera. Masing-masing pendatang (imigran atau transmigran bergerak menuju kawasan Danau Toba.
Pergerakan manusia Proto Melayu dan Deutro Melayu menuju kawasan Danau Toba disebabkan (dipengaruhi) oleh faktor (1) pasang-surut kekuasaan kerajan yang ada berkuasa di pulau Sumatera (kerajan kecil yang tahluk kepada kerajaan besar di Nusantara (yakni kerajaan Sriwijaya di Sumatera, dan di pulau Jawa kerajaan Majapahit) sekitar abad ke-6 sampai abad- ke-14 M, serta (2) akibat pengaruh penyebaran agama Hindu, Buda di Nusantara dan agama Islam (di daerah Aceh, daerah Deli dan daerah Sumatera Barat), yang mendesak orang-orang yang beragama animisme bergerak menuju kawasan danau Toba pada zaman dahulu.
Kerajaan Sriwijaya pada zamannya mempunyai pasukan yang bertugas menerima upeti dari kerajaan kerajaan kecil yang ada di Nusantara. Sewaktu kerajaan Sriwijaya ditahlukkan kerajaan Colamandala tahun 1025 M menyebabkan sebahagian pasukan yang sedang diperjalanan bertugas meminta upeti di kerajaan kecil di daerah Aceh dan Sumatera Utara tidak kembali ke pusat kerajaan Sriwijaya (Palembang). Pasukan kerajaan Sriwijaya ini kemudian kawin dengan penduduk (Proto Melayu) yang sudah ada dan berassimilasi budaya membentuk masyarakat masing-masing Proto Batak.
Berdasarkan alasan (pertimbangan) hal-hal yang diuraikan di atas dan berdasarkan kemiripan bahasa, sastra dan aksara, maka asal-usul sub-suku Batak (Proto-Batak) dapat dibedakan terdiri dari 2 bagian yaitu, (1) Proto-Batak Utara (terdiri 3 sub-suku Batak yakni: Pakpak, Karo. dan Alas/Gayo) dan (2) Proto Batak Selatan (terdiri 4 sub-suku Batak yakni: Simalungun, Toba, Angkola dan Mandailing)
Kedatangan Imigran ataupun Transmigran yang masuk ke daerah kawasan danau Toba adalah secara bertahap atau bergelombang dalam periode waktu berbeda, dan kemudian terjadi perkawinan ataupun assimilasi budaya. Setiap gelombang bergerak menuju daerah yang dianggap paling subur. Pendatang yang lebih awal akan mendapat (bertahan tinggal) di daerah yang lebih subur, sebaliknya pendatang yang lebih belakangan akan mendapat daerah yang lebih tandus. Pada mulanya suku Batak adalah hidup nomade (manusia yang tingkat kebudayaannya hidup dari memungut hasil tumbuhan secara alami dan menangkap ikan serta berburu binatang/burung dan tempat tinggal berpindah-pindah), kemudian berkembang ke tingkat budaya pertanian berpindah-pindah, pertanian tradisional dan hingga pertanian modern (sekarang).
Kebudayaan yang menganut sistim demokrasi pada bangsa Yunani dan keturunannya (trias politic) juga berkembang pada suku Batak. Demokrasi yang dianut pada suku Batak adalah azas “The Trias Manner of Batak Culture” yakni 3 alur/sikap (perilaku) utama dalam berbudaya (hubungan antar manusia) suku Batak. Pada Batak Pakpak 3 prilaku utama tersebut, yang dilaksanakan dalam hidup berbudaya dan bermasyarakat adalah meliputi (1) Sembah Merkula-kula/Suyuk mendahi Puhun, (2) Manat merdengngan tubuh, ( 3) Elek merberru, yang dilaksanakan dalam ikatan kekerabatan yang sangat besar, yang disebut Silima Sulang. Silima Sulang adalah 5 unsur ikatan kekerabatan dari masing-masing kelompok kula-kula dan kelompok anak berru, yaitu (1) Perisang-isang (anak tertua), (2) Pertulan Tengah (anak pertengahan), (3) Perekor-ekor (anak bungsu), (4) Puncanidip atau Puncaniadop (saudara semarga atau satu kakek) dan (5) Anak Berru. Sulang dapat diartikan memberikan makanan sebagai wujud rasa hormat kepada kula-kula dan sebaliknya rasa kasih-sayang kepaada berru (misalnya, menggohon-gohoni). Pada Batak Karo dikenal 3 cara tersebut adalah Rakut Sitellu yang dilaksankankan dalam ikatan kekerabatan Tutur Siwaluh. Pada keturunan Proto Batak Selatan 3 cara tersebut disebut Dalihan Natolu (terdiri dari 3 unsur yaknihula-hula, dongan tubu dan boru yang memiliki tingkat derajat kemanusiaan yang sama).
Pakpak Pegagan
Sub-suku Batak Pakpak (bagian dari Proto Batak Utara) terdiri dari lima suak, yakni (1) Pakpak Pegagan, (2) Pakpak Keppas, (3) Pakpak Simsim, (4) Pakpak Kelasen dan (5) Pakpak Boang, Salah satu keturunan sub suku Pakpak adalah Simergarahgah. Keturunan Simergarahgah adalah Perbuahaji. Keturunan Perbuahaji adalah Pitu Guru Pakpak Sindelanen adalah dukun (Datu) yaitu 7 Guru/Raja yakni Raja Api, RajaAngin, RajaTawar, Raja Lae/Lau/Lawe, Raja Aji, Raja Besi dan Raja Bisa) yang mempunyai ilmu kebatinan dengan keahlian (aliran) khas masing-masing. Ilmu ini diturunkan (turun-temurun) kepada para murid masing-masing. Murid yang paling mahir tetap dianggap sebagai Raja/Guru dari ilmu aliran masing-masing. Suatu ketika, para murid yang dijuluki Raja atau Guru pada 7 aliran ilmu tersebut bertemu di daerah pegunungan antara daerah Pegagan dengan Tanah Karo. Pengaruh agama Islam dan Kristen, menyebabkan ilmu mereka ke 7 guru/raja lambat laun semakin pudar (kecil) pengaruhnya kepada masyarakat, kemudian mereka yang terakhir diyakini meninggal di pegunungan antara daerah Pegagan dan Tanah Karo.
Pakpak Suak Pegagan (Raja Gagan) adalah keturunan Guru/Raja Api yang pertama, (yang mempunyai aliran ilmu tenaga dalam yang menyerupai tenaga api). Keturunan Guru/Raja Api (Pakpak Pegagan) ada 3 marga yaitu Matanari, Manik dan Lingga,. Marga Matanari tinggal di daerah kuta Balna Sikabeng-kabeng dan Kuta Gugung. Marga Manik di Kuta Manik dan Kuta Raja. Marga Lingga di Kuta Singa dan Kuta Posong. Jumlah generasi mulai dari Proto Pakpak sampai terbentuk marga Matanari belum diketahui secara pasti, namun diduga ada sekitar 11 generasi, karena marga Matanari sudah ada sekitar 19-20 generasi. Jadi Proto Batak Pakpak diduga sudah ada sejak sekitar 30 generasi x 20 tahun = 600 tahun yang lampau.
Matanari dan Sembahan Simergerahgah
Zaman dahulu, oleh para mpung (nenek moyang) merga Matanari, diyakini ada kekuatan gaib yang berkuasa dan bersemayam disekitar hulu (takal) sungai (lae) Patuak (di daerah sekitar Lae Rias) sampai Lae Pondom di atas huta Silalahi Nabolak. Kekuatan gaib itu disebut “ Sembahan Simergerahgah” yaitu nenek moyang Raja Matanari. Diyakini mereka bahwa disekitar daerah ini adalah tempat kuburan para nenek moyang raja Matanari. Nenek moyang raja Matanari masih taraf budaya nomade (hidup dari hasil tumbuhan alam, hasil berburu binatang dan burung serta hasil tangkapan ikan tawar). Selanjutnya raja Matanari dan keturunannya berkembang ke tingkat budaya Petani Berpindah-pindah, sehingga mereka bergerak berpindah-pindah ke rarah lahan yang lebih subur (dari Lae Rias-Lae Pondom menuju arah Balna Sikabeng-kabeng Kuta Gugung). Di tempat terakhir ini selanjutnya berkembang ke tingkat budaya Pertanian Tradisional hingga sekarang menjadi berkembang ke tingkat budaya Pertanian Modern.
Diduga, pada mulanya tempat tinggal Raja Matanari dan keturunannya adalah di sekitar kuta Balna. Kuta berarti kampung/desa/dusun (huta, bahasa Batak Toba). Kuta Raja Matanari terletak pada dataran tinggi yang sebelah Barat berbatasan dengan sungai (Lae) Renun yang terbentuk akibat terjadi patahan lempeng bumi ribuan tahun sebelum masehi (SM), dan sebelah Timur berbatasan dengan danau Toba (Tao Silalahi) yang terbentuk akibat letusan gunung berapi ribuan tahun sebelum masehi. Arah ke Utara adalah kuta (kampung) yang ditempati Raja Manik dan Raja Lingga serta arah Selatan adalah daerah Tele dan gunung Pusuk Buhit. Kuta Raja Matanari terbentang pada lahan yang relatip subur dan tersedia sumber air baik dari sumber Mata Air maupun air beberapa sungai. Raja Matanari dan keturunannya memilih tinggal di tempat yang dekat dengan beberapa sungai misalnya Lae Patuak selain sebagai sumber air minum dan air mandi juga sumber ikan sungai (tawar). Pada mulanya belum ada nama tempat tinggal Raja Matanari. Nama kuta tempat tinggal keturunan Raja Matanari ada kemudian sesuai sejarah yang terjadi di daerah tersebut.
Paroltep Hulubalang Raja Matanari
Suatu ketika, istri Raja Matanari sakit keras, pada zaman itu belum ada pengobatan medis, yang ada adalah pengobatan tradisional, baik melalui obat ramuan maupun ilmu kedukunan (paranormal = hadatuon). Raja Matanari menyuruh hulubalangnya mencari ramuan daun-daunan, akar-akaran dan biji-bijian ke hutan, untuk obat mpung berru Simeratah istrinya . Hulubalang pergi sambil membawa Oltep yakni alat senjata tradisional, yang dapat digunakan menembak burung, (orang yang sering menggunakan Oltep disebut Paroltep). Hulubalang pada umumnya adalah anggota keluarga (keturunan) kepala suku atau kelompok (Raja Matanari).
Hulubalang berangkat dari kuta menuju ke arah Timur, mengikuti aliran sungai (Lae) Patuak ke arah hulu (menuju Huta/Tao Silalahi). Di tengah perjalanan, hulubalang melihat seekor burung yang cantik. Hulubalang bermaksud menangkap burung tersebut hidup, sehingga dia coba menembak dengan Oltep secara pelan (tidak kuat). Burung tersebut jatuh, tetapi karena tidak kuat ditembak (dioltep) burung tersebut terbang lagi dan hinggap ke pohon lain. Hulubalang mengejarnya dan coba menembaknya lagi dengan cara yang sama,. burung tersebut jatuh dan dengan keadaan yang sama terbang lagi dan hinggap ke pohon lain. Demikian kejadiannya berlangsung berulang-ulang, hingga hulubalang tidak sadar sudah sampai mendekati Tao Silalahi (danau Toba), hulubalang lupa tugas utamanya mencari ramuan. Karena waktu sudah menjelang malam hari, hulubalang melihat asap api menyala di suatu gubuk. Hulubalang mendekati gubuk tersebut, dan melihat seorang laki-laki di dalam gubuk tersebut yaitu Raja Silalahisabungan..
Hulubalang menegur Raja Silalahisabungan, dengan pertanyaan, “ kenapa kau menempati tanah ini ?,tanah ini adalah milik suku Pakpak”..?. Kemudian Raja Silalahisabungan dengan cerdik dan benar menjawab, “Ndang tanom na hu hunduli tanonggku do, Ndang aekmu na hu inum aek ku do”, sambil menunjukkan bungkusan tanah yang didudukinya dan menunjukkan air dalam kendi dari bambu, yang di bawa nya dari Toba. Karena pernyataan Raja Silalahisabungan adalah benar, maka tidak mempan ilmu hitam yang dipasang Hulubalang kepada Raja Silalahisabungan. Selanjunya hulubalang menyadari bahwa Raja Silalahisabungan tersebut pasti seorang Dukun Hebat (Datu Bolon).
Karena obat ramuan tidak didapatkan (terlupakan akibat mengejar-ngejar burung tersebut di atas), maka hulubalang mendapat inspirasi jalan keluar atas tugasnya yang terlalaikan, yaitu hulubalang (paroltep) meminta Raja Silalahisabungan mau bersedia mengobati istri Raja Matanari yang sedang sakit. Dan diberitahukan, bawa Raja Matanari telah membuat sayembara, bahwa “barang siapa dapat menyembukkan mpung istri Raja Matanari akan diberikan hadiah apa saja yang diminta, baik harta bahkan putrinya (dijadikan menantu Raja Matanari).
Balna Sikabeng-kabeng berasal dar kata Mballa si kabeng-kabengken
Tawaran hulubalang di penuhi Raja Silalahisabungan, yakni bersedia mengobati istri Raja Matanari. Karena Raja Silalahisabungan adalah seorang dukun, maka beliau “martabas” dan kemudian mengatakan, istri Raja Matanari dapat sembuh, jika setan/hantu/begu/bala/penyakit (bahasa suku Batak Pakpak disebut MBALLA) yang masuk ke tubuh istri Raja Matanari harus kita buang atau terbangkan (dalam bahasa suku Batak Pakpak dikatakan SIKABENG KEN, bahasa Toba dikatakan ta pahabang). Hal ini dikatakan dukun (Raja Silalahisabungan) kepada Raja Matanari. Kemudian Raja Matanari ditanya anggota keluarganya, “bagaimana kata dukun tersebut cara menyembukan sakit istri Raja Matanari” Raja Matanari menjawab mereka: “caranya adalah MBALLA SIKABENG KEN” (artinya setan yang di dalam tubuh yang sakit harus diterbangkan/dibuang) melalui acara ritual. Pelaksanaan ritual menerbangkan setan (MBALLA SIKABENG KEN) di lakukan di lokasi diluar kampung (kuta), kemudian (sekarang) lokasi ini disebut kuta Balna Sikabeng- kabeng. Acara ritual membuang/menerbangkan setan (Mballa Sikabeng ken) seterusnya menjadi terbiasa di lokasi ini dalam tahap penyembuhan penyakit. Tempat ini menjadi tempat yang sakral atau kramat, zaman itu nenek moyang kita menganut agama Animisme atau Pelbegu.
Pada waktu selanjutnya, bertambahlah jumllah penduduk dan bertambah juga Dukun atau orang orang berilmu kebatinan. Karena araca ritual kebatinan atau belajar menuntut ilmu perdukunan, tidak boleh terganggu, maka dilarang penduduk biasa lalulalang (masuk-keluar sembarangan) ke tempat tersebut. Tempat ini diperuntukkan hanya bagi pertua, dukun, orang belajar ilmu kebatinan dan proses pelaksanaan acara ritual tertentu. Penduduk biasa, keluarga dukun dan anak-anaknya tinggal di tempat agak terpisah dari yang disebut sekarang kuta Balna Sikabeng-kabeng yang jaraknya relatip dekat.
Pada mulanya tempat melakukan MBALLA SIKABENG KEN, selain menjadi tempat yang dianggap sakral, tempat mengobati yang sakit, tempat menguji ilmu perdukunan, tempat belajar ilmu kebatinan dan ilmu hitam, juga menjadi tempat yang ditakuti masyarakat biasa karena tempat ini adalah lokasi pembunuhan terhadap musuh, penghianat dan orang yang melakukan kesalahan besar. Pembunuhan (Hukuman Mati) bagi orang Penghianat Raja ataupun Orang yang bersalah besar, sengaja dipertontonkan kepada masyarakat, untuk tujuan membangun efek jera. Musuh yang dibunuh kadang-kadang dimakan untuk menambah ilmu kekebalan dan ilmu hitam, (mereka percaya, jiga daging musuh tersebut dimakan maka akan berpindah ilmu musuh tersebut ke dalam tubuhnya). Tiang Bale Silendung Bulan di Balna Sikabeng-kabeng adalah tempat menancapkan gigi-gigi manusia yang di bunuh.
Selanjutnya sesuai pertambahan penduduk, maka sering penduduk biasa bertanya kepada orang yang lebih tua (datu), yakni dengan pertanyaan “kegiatan apa yang dilakukan dilokasi itu, sehingga kita dilarang memasukinya…?” . Orang tua (datu) tersebut menjawab secara bijak, itu adalah tempat MBALLA SIKABENG-KABENG KEN (artinya: itu adalah tempat setan kita terbang-terbangkan). Karena selain untuk tempat pengobatan, lokasi ini juga digunakan sebagai lokasi menguji ilmu kebatinan, ilmu menerbangkan lumpang (losung) dan alu (andalu), ilmu hitam, menerbangkan penyebab gatal-gatal (GADAM), memelihara Sibiangsat, Begu Ganjang, meracik racun (bisa), dan lain lain.
Selanjunya akibat terjadi perkembangan zaman, masuknya pengaruh ajaran agama Islam dan agama Kristen., pengaruh pertambahan penduduk putra daerah dan penduduk pendatang (terutama dari suku Batak Toba) sehingga dalam bahasa sehari-hari terjadi assimilasi/pembauran, yang menyebabkan terjadi perubahan kata atau kalimat dari aslinya yakni::Tempat MBALLA SIKABENG-SIKABENG KEN berubah menjadi nama kuta BALNA SIKABENG-KABENG
Sesuai perkembangan zaman dan pertambahan penduduk, maka terjadi juga pertambahan dusun atau kuta. Putra sulung Raja Matanari bertempat tinggal sekitar kuta Balna Sikabeng-kabeng, sedangkan putra bungsu Raja Matanari dan keturunannya membentuk kuta yang baru sekitar beberapa ratus meter arah ke utara. Sesuai letak lokasi ini adalah pada tempat yang lebih tinggi dari tempat sekitarnya, maka tempat ini jadi terbiasa disebut Kuta Gugung. Gugung (Dolok, dalam bahasa Toba) berarti lokasi yang lebih tinggi dari tempat sekitarnya. Kemudian terbentuk dusun-dusun baru sesuai pertambahan jumlah penduduk, misalnya, Pernantin, Kuta Kabo, Kuta Lama, Kuta Baru, Sikula, Kuta Gerat, Silencer, Simbereng, Simanabun, Juma Tungko, Sibira, Buluh Ujung, Sileuh-leuh, Pergambiran, Lae Siboban, Lae Rias, Lae Pinagar, dan lain lain
Sebahagian keturunan putra sulung dan putra bungsu Raja Matanari pergi merantau ke daerah/desa SIKONIHAN, SIMANDUMA, BUKIT LEHU, TIGALINGGA, KABAN JULU, SIDIKALANG, PASI-SUMBUL-BRAMPU, SINGKIL, BOANG, SUMBULUSALAM, ALAS/GAYO-ACEH, dll.
Sesuai perkembangan zaman, juga terjadi perubahan nama-nama kampung (kuta), yakni akibat terjadi pengaruh bahasa pendatang (terutama bahasa suku Batak Toba) yang saat ini jumlahnya jauh lebih banyak dari suku Batak Pakpak di daerah Pegagan Julu IV, yakni antara lain perubahan nama kuta:
- PARNANTIAN nama aslinya adalah PERNATIN yang berarti tempat ini adalah tempat menunggu orang lain dari arah simpang yang berbeda, di mana tempat ini adalah simpang tiga.
- BULUHUJUNG nama aslinya adalah LEBBUH UJUNG yang berarti tempat paling ujung (tepi hutan) pada zaman tersebut.
- SIBERENG nama aslinya si MBERENG artinya si Hitam, karena ditempat ini pernah terjadi kebakaran yang menyebabakan terlihat asap api warna hitam di lokasi tersebut. Asap api warna hitam terjadi dalam waktu relatip lama karena yang terbakar adalah beberapa rumah yang mempunyai atap ijuk dari pohon Aren. Kebakaran terjadi akibat perkelahian sesama keturunan Raja Matanari (perang saudara) dalam perebutan kekuasaan Kampung
- HUTA GORAT nama aslinya adalah KUTA GERAT karena dilokasi ini dahulu banyak terdapat jenis mangga hutan yang disebut namanya GERAT dan juga Embacang hutan yang disebut namanya Embargus.
- HUTA BARU nama aslinya adalah KUTA BARU yang berarti perkembangan penduduknya dari kuta lama.
- SILESSER nama aslinya adalah SILENCER
- HUTA SILEU-LEU nama aslinya adalah KUTA SILEUH-LEUH
- HUTA PARGAMBIRAN nama aslinya adalah KUTA PERGAMBIREN, dll.
Pinggan Matio berru Matanari dan Ranimbani berru Matanari
Setelah berhasil mengobati penyakit istri Raja Matanari, maka Raja Silalahisabungan menagih upahnya yakni agar Raja Matanari berkenan memberikan putrinya untuk dipersunting Raja Silalahisabungan menjadi istrinya. Kenyatan ini dipenuhi Raja Matanari dengan terpaksa (tidak sepenuhnya ihlas)….?. Ditentukanlah waktu mengantarkan berru ke tempat (huta) pengantin laki-laki (Raja Silalahisabungan) di kampung (huta) Silalahi. Dalam penyerahan upah Raja Silalahisabungan, Raja Matanari memakai ilmu hitam di sungai (binanga) Simaila di Silalahi. Raja Matanari mengizinkan (mempersilahkan) Raja Silalahisabungan memilih salah satu dari tujuh (7) gadis yang diperlihatkan Raja Matanari.
Raja Silalahisabungan sudah mengetahui bahwa hanya satu orang putri Raja Matanari (yaitu Pinggan Matio). Namun Raja Silalahisabungan cukup cerdik tidak mau mempermalukan calon mertuanya. Raja Silalahisabungan meminta/ mempersilahkan semua (7) gadis tersebut menyeberangi sungai (binanga) Simaila. Setelah semua (7) gadis menyeberang sungai tersebut, Raja Silalahisabungan menunjuk (memilih) gadis yang basah pakaiannya waktu menyeberang sungai yaitu salah seorang yang paling buruk rupanya (Cacat Matanya) dari semua (7) gadis yang diperlihatkan Raja Matanari. Gadis yang dipilih Raja Silalahisabungan tersebut adalah tepat (benar) si Pinggan Matio. Enam (6) gadis yang lain yang diperlihatkankan Raja Matanari (melalui ilmu hitamnya), tidak basah pakaiannya sewaktu menyeberangi sungai (binanga) Simaila karena mereka ini bukanlah manusia, melainkan Siluman.
Suatu ketika setelah para putra Raja Silalahi/Pinggan Matio sudah ada, mereka datang berkunjung ke daerah Balna Sikabeng-kabeng menjumpai mertua/orang tua serta keluarga Mancintaratus Matanari (saudara laki-laki Pinggan Matio). Mancintaratus mempunyai 2 putra ( Kembung Mballiang dan Mballang Tiktik) dan 3 orang putri. Pinngan Matio melihat ada putri Mancintaratus yang bernama Ranimbani berru Matanari (dalam seharihari dipanggil Ranimtamende) yang cocok (diinginkannya) dikawinkan dengan putra tertuanya (yaitu Sihaloho Raja).
Guna mewujudkan keinginannya, Pinggan Matio mengambil dahan pohon beringin (jabi-jabi). Didepan orangtuanya (Raja Matanari) dan keluarga saudaranya (Mancintaratus) Pinggan Matio menenam dahan (ranting) pohon beingin tersebut seraya memohon, berjanji/bersumpah, “ jika dahan/ranting pohon beringin yang ku tanam ini tumbuh, maka tidak ada yang bisa menghalangi putranya Sihaloho Raja mempersunting parumaennya si Rumintang berru Matanari”. Ternyata apa yang dilakukan dan diharapkan Pingga Matio terwujud baik, yakni dahan/ranting beringin yang ditanam tumbuh subur (selanjutnya pohon ini disebut Tongkat = tungkot ni Pinggan Matio) dan dengan demikian Sihaloho Raja mempersunting Ranimbani berru Matanari menjadi istrinya (marboru tulang).
Kemudian, dua (2) lagi adek perempuan si Ranimbani kawin ke marga Bintang dan marga Maha. Dengan demikian Sihaloho Raja marpariban dengan Raja Bintang dan Raja Maha . Keturunan mereka ini umumnya tidak boleh saling mengawini satu sama lain (ndang boi mersiolian, berdasarkan ikrar = padan sisada boru sisada anak) karena selain istri mereka bertiga adalah kakak-adek, juga hubungan persaudaraan mereka sangat dekat dan saling membatu melawan musuh pada zaman dahulu kala.
Pinggan Matio berru Matanari Terlupakan….?
Pinggan Matio berru Matanari terlupakan (berobah menjadi berru Padang Batanghari) akibat kesalahan/kekeliruan marga Matanari (tidak kesalahan dari Panitia Tarombo Pendirian Tugu Raja Silalahisabungan). Panitia Tarombo keturunan Raja Silalahisabungan (tahun 1967) bertanya, “masuk tudia do marga Matanari”…?. Penetua (pertua) marga Matanari menjawab, “ Sada do hami dohot Sihotang”.
Jauh sebelum tahun 1967, Pakpak Pegagan (Matanari, Manik dan Lingga) sudah dekat hubungan persaudaraannya dengan marga Sihotang (Batak Toba) dan puncaknya adalah terbentuknya Ikatan (Pesta) Silima Tali di Sumbul Pegagan tahun 1957. Silima Tali teriri dari 5 unsur yaitu (1) Matanari, (2) Manik, (3) Lingga, (4) Sihotang dan (5) Berru. Keempat marga tersebut diatas menjalin ikatan persaudaraan “Sisada Anak dohot Sisada Boru” yakni keturunan 4 marga tersebut tidak boleh kawin.
Sebelum terbentuknya ikatan (pesta) Silima Tali, antara marga Matanari, Manik dan Lingga masih terjadi perkawinan (marsiolian). Akibat pengaruh ikatan (pesta) Silima Tali, waktu selanjunya sebahagian marga Matanari, Manik dan Lingga mengaku keturunan marga Sihotang, sehinnga pertanyaan Panitia Tarombo Pendirian Tugu Raja Silalahisabungan tahun 1967 sulit dijawab pertua marga Matanari dengan jawaban yang sebenarnya. (Seberarnya: Matanari, Manik dan Lingga adalah keturunan Pakpak pegagan). Lebih lanjut, dalam Pustaha Batak (Toba) dituliskan dalam Tarombo marga Matanari, Manik dan Lingga adalah keturunan marga Sihotang, adalah tulisan yang mungkin tanpa disadari menghilangkan keberadaan Pakpak Pegagan. Pakpak Pegagan adalah bagian dari Proto Batak Utara (Pakpak, Karo dan Gayo) sedangkan Toba adalah bagian dari Proto Batak Selatan (Mandailing, Angkola, Toba dan Simalungun)
Sembahan si Raja Onggu-Rumintang Penghuni Pohon Beringin Tongkat Pinggan Matio di Balna Sikabeng-kabeng
Raja Onggu Ruma Sondi Dihukum Mati Karena Menghina Pakpak, dan akibatnya istrinya Rumintang berru Matanari Mati Gantung Diri
Mpung Raja Beak (artinya kaya) Matanari mempunyai berru si Rumintang berru Matanari dengan menantu yang cukup terkenal sejarahnya di Balna dan sekitarnya adalah si Raja Onggu Ruma Sondi (keturunan Silalahisabungan) yang kawin dengan si Rumintang berru Matanari. Raja Onggu selaku menantu merga Matanari sudah bermukim di Balna dan telah menguasai bahasa suku Batak Pakpak Raja Onggu adalah orang rajin dan bekerja keras sehingga cukup bersahaja (maduma) kehidupan keluarganya.. Raja Onggu adalah orang bersifat terbuka (seperti biasanya sifat suku Batak Toba) dalam berbicara sehari-hari, berbicara seadanya, kurang memikirkan orang lain tersinggung atau tidak karena semua sudah dianggapnya anggota keluarga dekat. Sebaliknya suku Pakpak (termasuk mertuanya marga Matanari) mempunyai sifat atau budaya malas bekerja (bertani) sehingga banyak yang miskin (kurang makan), mau meminta dari anak berru dan bersifat agak tertutup.Karena si Raja Onggu sudah merasa menantu penguasa marga Matanari dan ditambah sifat dan keadaan dia di atas, maka tanpa disadarinya dia telah sering menyalahkan (menghina) pihak kula-kulanya Matanari selaku suku Pakpak.
Raja Onggu sudah merasa sangat dekat kepada semua merga Matanari karena dianggapnya sebagai pihak kula-kula (mertuanya) dan tulangnya sebagai Raja Kuta dan Pertua Marga Matanari. Karena dia dan keluarganya rajin bekerja keras/cukup makan (maduma) maka banyak orang justru tersinggung dengan ucapannya (yang mungkin adalah benar). Misalnya, si Raja Onggu mengatakan pantas kalian (Matanari suku Pakpak/kula-kulanya) miskin/kurang makan karena malas bekerja, bukan..?. Cara pengucapan si Raja Onnggu membuat banyak orang tersinggung atau marah. Yang dikatakan si Raja Onggu Benar, tapi caranya tidak dapat diterima orang Pakpak pada zaman tersebut.
Pada suatu ketika Raja Beak Matanari yang ada di Balna hendak membangun Rumah Adat Pakpak yang diberi nama “Rumah Sipitu Ruang Kurang Dua Lima Puluh” dan “Bale Silendung Bulan” di Balna Sikabeng-kabeng.. Tukangnya atau arsiteknya, selain orang suku Pakpak juga cukup banyak suku Batak Toba yang terutama yang didatangkan dari daerah Silalahi (termasuk si Raja Onggu). Pada waktu pembangunan Rumah Adat merga Matanari di Balna hampir selesai, si Raja Onngu lagi-lagi melakukan kesalahan kepada marga Matanari selaku Suku Pakpak. Raja Onggu (mungkin tidak menyadari) telah mengucapkan kata-kata penghinaan kepada marga Matanari (secara umum suku Pakpak ikut dihinanya). Raja Onggu mengatakan: “orang Pakpak Bodoh, massya gagang parang/pisaunya lurus-lurus”, tidak seperti gagang parang/pisau batak Toba ada sedikit membengkok di ujungnya. Sehingga memakai parang/pisau suku Toba adalah enak, tidak was-was pisau/parang terlepas dari tangan saat dipakai (sebaliknya parang/pisau orang pakpak).
Pernyataan tersebut di atas, diucapkan si Raja Onngu dengan cara yang tidak tepat dihadapan orang-orang suku Pakpak yang ikut serta sebagai Tukang Rumah Adat di Balna dan juga terdengar pertua marga Matanari pemilik rumah tersebut. Pernyataan si Raja Onggu tersebut membuat orang-orang suku Pakpak marah, atau tidak dapat diterima (dibenarkan) suku Pakpak pada waktu itu. Akibat kesalahannya tersebut, para penetua memutuskan: “si Raja Onngu harus dihukum mati”, walaupun si Rumintang berru Matanari (istrinya) sudah menyembah-nyembah penetua, memohon agar suaminya tidak dihukum mati. Raja Kuta (merga) Matanari waktu itu pada posisi yang sulit dalam mengambil keputusan, di mana yang akan dihukum mati (di seat) didepan masyarakat umum adalah seorang menantu marga Matanari, yaitu si Raja Onggu pomparan Silalahisabungan dengan Pinggan Matio berru Matanari. Tetapi demi menjunjung tinggi Hukum Adat, marga Matanari selaku Raja Kuta tidak memperdulikan permohonan si Rumintang berru Matanari (tidak dapat mentolerir/mengampuni kesalahan si Raja Onggu tersebut).
Karena si Rumintang berru Matanari tidak dapat menerima kenyataan tersebut, dia menangis terus-menerus (mangandungi) memanggil-manggil Arwah Pinggan Matio berru Matanari ( istri Raja Silalahisabungan) dan dia menjadi bringas melawan orang tua dan saudaranya merga Matanari. Akibatnya si Rumintang berru Matanari di ikat pada pohon Beringin (jabi-jabi yang ditanam Pinggan Matio). Setelah dilakukan hukuman mati terhadap si Raja Onggu, si Rumintang berru Matanari terus menerus menangis (mangandungi) di bawah pohon beringin tempat dia diikat. Keesokan harinya ditemukan si Rumintang berru Matanari telah mengahiri hidupnya dengan cara Gantung Diri.
Kejadian ini sangat menyedihkan pada marga Matanari terutama pihak mertua kandung si Raja Onggu (bapa/ibu si Rumintang berru Matanari). Sifat kerja keras, rajin dan terbuka dari si Raja Onggu, sebenarnya adalah contoh yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan dan kemajuan kuta (desa) Balna dan sekitarnya pada zaman tersebut. Setelah dilakukan hukuman mati kepada si Raja Onngu, darahnya dioleskan pada gorga (ornament) RumahSipitu Ruang Kurang Dua Lima Puluh. Kemudian mayat si Raja Onggu dan si Rumintang berru Matanari diizinkan penetua marga Matanari di bawa ke Silalahi atas permintaan pihak keluarga si Raja Onggu Ruma Sondi.
Akibat peristiwa itu, maka Rumah Adat Sipitu Ruang Kurang Dua Lima Puluh tersebut tanggung selesai dipahat/diukir ornamennya pada waktu itu, tetapi tidak pernah lagi diselesaikan hingga Rumah Adat tersebut hancur disebabkan Badai Angin Topan pada tanggal 20 Oktober 1984 sekitar jam 17.30 WIB.
Keputusan Hukum Adat ini menimbulkan rasa kesedihan dan penyesalan pada keluarga marga Matanari dan keturunan Silalahisabungan. Lebih dari perasaan sedih dan penyesalan, wajar timbul perasaan benci dari keluarga si Raja Onggu Ruma Sondi dan keturunannya terhadap marga Maatanari dapat dimaklumi, untuk itu marga Matanari mohon maaf atas keputusan Hukum Adat yang berlaku pada zaman dahulu.
Kematian si Raja Onggu Ruma Sondi dan si Rumintang berru Matanari adalah di luar kewajaran, maka marga Matanari dan masyarakat di Balna dan sekitarnya menyakini (kepercayaan animisme)) bahwa pohon beringin (jabi-jabi) yang ditanam Pinggan Matio berru Matanari beberapa ratus tahun silam adalah dihuni oleh arwah/begu si Raja Onggu dan Rumintang berru Matanari (disebut sehari-hari; Sembahan si Raja Onggu).
Pohon beringin (jabi-jabi) ini mati layu kemudian setelah dilaksanakan Pesta Peresmian Tugu Silalahisabungan tahun 1981, di mana istri Raja Silalahisabungan tertulis pada Tugu tersebut bukan Pinggan Matio berru Matanari melainkan ditulis berru Padang Batanghari. Kebetulan, sebelum pohon beringin tersebut mati layu, salah seorang istri marga Matanari (boru Sijabat) mengambil ranting pohon beringin tersebut dan menanamnya, sekarang sudah cukup besar, tetapi tidak ada kenyakinan masyarakat bahwa pohon ini dihuni arwah/begu si Raja Onggu-si Rumintang berru Matanari.
Maaf…..Mungkinkah…..kejadian di atas, salah satu penyebab sebahagian keturunan Raja Silalahisabungan, bersih keras menolak marga Matanari sebagai hula-hula pomparan ni Raja Silalahisabungan dan menyatakan Pingga Matio bukan berru Matanari….?
Berdasarkan akibat Hukum Adat yang dijalankan keturunan Raja Matanari tersebut di atas, marga Matanari mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada keluarga pomparan Raja Silalahisabungan (khusus kepada si Raja Onggu Ruma Sondi-Rumintang berru Matanari dan keturunannya serta keluarganya).
Rumah Sipitu Ruang Kurang Dua Lima Puluh
Rumah ini adalah rumah berornamen budaya Pakpak yang dibangun Raja Beak (kaya) Matanari (sekitar generasi ke-7 atau ke-8) ayah dari si Rumintang berru Matanari, mertua dari Raja Onggu Ruma Sondi. Diduga nama rumah ini diberikan Raja Beak Matanari, berkaitan dengan kematian (berkurang) dua anggota keluarganya (Rumintang + Raja Onggu) saat pembangunan rumah tersebut. Pembangunan rumah tidak dilanjutkan lagi hingga hancur disebabkan Badai Angin Topan pada tanggal 20 Oktober 1984 sekitar jam 17.30 WIB.
Rumah Sipitu Ruang Kurang Dua Lima Puluh dan Bale Silendung Bulan, sudah pernah direncanakan (diusulkan) Pemerintah Kabupaten Dairi untuk dipugar sebagai bukti peninggalan budaya Pakpak (Situs Rumah dan Bale Adat Sub Suku Batak Pakpak), namun sampai sekarang belum terwujud. Kita sangat mengharapkan rencana (usulan) tersebut dapat diwujudkan Bapak Bupati Dairi melalui perjuangan yang terus-menerus dari pihak (dinas/departenen) Kebudayaan dan Parawisata serta anggota DPR Kabupaten Dairi. Situs ini dapat menjadi lokasi tujuan Wisata (selain Taman Iman yang sudah ada) guna meningkatkan Pendapatan Daerah. …….Semoga Berhasil.
Bale Sinendung Bulan
Balai (bale) ini dibangun pada lokasi yang berhadapan dengan Rumah Sipitu Ruang Kurang Dua Lima Puluh. Balai ini digunakan sebagai tempat melaksanakan rapat para penetua untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Tiang (pilar) Bale Silendung Bulan adalah tempat menancapkan rahang dan gigi (tengkorak) para musuh yang telah dibunuh, sebagai symbol yang menunjukkan kekuatan raja (pertua) dan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Dengan symbol tersebut diharapkan para orang pendatang tidak sembarangan melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum adat atau pertaturan yang berlaku di daerah tersebut.
Pada serambi Bale Silendung Bulan adalah tempat membunuh (maneat) dan memasak daging manusia musuh yang dianggap kuat/hebat. Daging manusia musuh yang dianggap kuat/hebat dimakan dengan keyakinan (tujuan), agar ilmu kebatinan manusia kuat tersebut berpindah ke dalam tubuh mereka, Dengan demikian tidak sembarangan manusia, dagingnya.dimakan.
Siberru Taren Matanari istri Raja Manungkun Pintu Batu
Siberru Taren Matanari istri Raja Manungkun Pintu Batu mendapat Rading Berru dari Raja Tarren Matanari. Rading berru tersebut adalah parhutaan/lahan di Temberro (arah Selatan dari Balna Sikabeng-kabeng) yang diberikan marga Matanari kepada Raja Manungkun Pintu Batu (keturunan Raja Silalahisabungan) dan keturunannya..
Sembahan Bendar Muncu
Diantara kuta Kabo dan kuta Pernantiin terdapat saluran irigasi yang relatip besar dan airnya cukup deras alirannya yang diberi nama Bendar Muncu. Sampai sekitar tahun 1950 an lokasi ini dianggap keramat, sakral dan berbahaya. Dilokasi inilah Parmangmang (Tokoh kampong = Dukun) memuja dan memohon perlindungan bagi keluarga Matanari Kuta Gugung yang masih menganut agama Animisme dan menjalankan budaya tradisional. Sebelum terlaksana musim tanam Padi, maka Parmangmang memuja dan memohon, agar kiranya hama yang menyerang tanaman Padi dijauhkan sehingga hasil panen berlimpah serta masyarakat dijauhkan dari penyakit yang mematikan.
Parmangmanglah yang mempunyai hak pertama menanam padi, dan setelah selasai boleh diikuti oleh masyarakat biasa menanam padi di lading masing-masing, demikian juga saat panen. Setelah selesai menanam Padi, semua masyarakat harus berpuasa tinggal diam di rumah masing-masing, agar hama tanaman tidak menyerang kemudian hari (berdasarkan kenyakinan agama animisme dan budaya tradisional).
Lokasi Terlarang Dimasuki Masyarakat
Terdapat lahan yang cukup luas (sekitar 4 hektar) yang tidak ada masyarakat yang berani memasukinya, karena dianggap pada tanah lahan tersebut terdapat GADAM. Menurut ceritra, bahwa kakek (mpung) dari keturunan Raja Matanari menguburkan (menyembunyikan) berbagai alat-alat bersejarah dan harta karun di lahan yang 4 hektar tersebut. Kemudian, tidak ada orang yang berani mengambilnya, karena diyakini waktu barang-barang itu dikuburkan, kemudian ditaburkan pada tanah tersebut Gadam.
Gadam adalah guna-guna yang menyebabkan gatal-gatal kulit hingga membusuk dan mematikan manusia. Menurut keyakinan masyarakat, bila kena Gadam tersebut, hanya dapat diobati oleh orang yang memasangnya (meraciknya), karena Gadam mempunyai kunci rahasia (specifik). Barang-barang ini dikuburkan mpung keturunan Raja Matanari, adalah karena dia takut barang tersebut diambil bangsa Belanda pada zaman penjajahan. Agar barang itu tidak bisa di ambil (digali), maka dijaga dengan menaburkan guna-guna Gadam pada tanah galian tersebut. Kakek (mpung) keturunan Raja Matanari tersebut sudah meninggal, tetapi beliau tidak memberitahukan kunci rahasia Gadam tersebut kepada keturunannya.
Apakah pendapat keyakinan) ini adalah salah..?, benarkah Gadam tidak dapat diobati secara medis…?. Masih adakah cara mendapatkan barang-barang peninggalan keturunan Raja Matanari tersebut…?
Sembahan Liang Besi dan Liang Nankendeng
Liang adalah tempat menyerupai gua kecil di sungai (lae) Patuak dan lae Manalsal. Pada masing-masing tempat ini diyakini (kepercayaan animisme) dihuni oleh mahluk gaib. Tempat ini diyakini sebagai tempat meminta/mendapatkan ilmu kebatinan, ilmu kekebalan, ilmu hitam/siluman dan lain lain. Orang-orang yang belajar ilmu kebatinan melakukan penyelaman di jeram sungai (lae Patuak/lae Manalsal) untuk mendapatkan sesuatu benda yang diyakininya menjadi jimat (benda berkekuatan gaib).
Demikianlah catatan Sejarah dan beberapa Legenda pada merga Matanari Pakpak Pegagan berdasarkan ceritra dari mulut ke mulut yang didengar dan diingat penulis semenjak penulis masih anak-anak (umur sekitar 4-5 tahun).serta beberapa tulisan pertua merga Matanari. Semoga yang dipaparkan penulis ini dapat berguna, dan jikalau ada kekeliruan dalam tulisan ini, maka penulis lebih dahulu mohon maaf dan dengan senang hati penulis dapat menerima kritik demi perbaikannya.
Langganan:
Postingan (Atom)