Senin, 13 September 2010
DANAU SICIKECIKE, KUTA MARGA PAKPAK DAIRI
Sumber: Tarombo Marga Udjung Kalang Simbara Penulis: R.U.S. Udjung (+) Disadur oleh: Fredy W Udjung Kabupaten Dairi sekarang adalah sebagian dari tanah Pakpak. Tanah Pakpak terdiri dari 5 daerah: 1. Pakpak Pegagan 2. Pakpak Keppas 3. Pakpak Simsim 4. Pakpak Kelasen 5. Pakpak Boang Di daerah Pakpak Keppas, khususnya di sub daerah Si Tellu Nempu, Kecamatan Sidikalang, tepatnya beberapa kilometer dari kuta Sitinjo tempat persimpangan (simpang tiga) jalan Sidikalang ke Medan dan ke Dolok Sanggul, sekitar kuta Bangun, nampak di kejauhan suatu bukit. Di atas bukit itu ada danau yang disebut danau Sicikecike. Danau ini dulunya adalah sebuah kuta yang bernama kuta Sicikecike, nama yang kemudian menjadi sebutan danau yang dimaksud. Apa sebabnya kuta itu dahulu disebut nama Sicikecike? Apa kekhususannya? Pada zaman itu banyak nama satu kuta disesuaikan dengan keadaan sekitar, sungai, gunung dan lain sebagainya. Cike adalah nama sejenis tanaman yang banyak dipakai menjadi bahan baku menganyam tikar (Tendellen) yang kualitasnya agak kasar. Cike ini tumbuh di tanah yang berair, pinggir sungai atau rawa-rawa. Oleh karena disekitar banyak tumbuh tanaman Cike, maka kuta itu disebut Sicikecike. Kuta Sicikecike terdiri dari 5-6 rumah sesuai dengan kebiasaan di kuta Pakpak, “uga satu bale”, dibangun menurut arsitektur Pakpak, beratap ijuk aren, tiang kayu bundar besar, dinding dan lantai terbuat dari papan tebal kira-kira 2 inci, berkolong antara 1,5 sampai 2 meter dan tanpa menggunakan paku besi, karena memang pada waktu itu belum ada. Rumah-rumah ini biasanya dihuni 6 sampai 8 keluarga. Maka kuta Sicikecike pada zaman itu bisa dikatakan lumayan besar dan ramai. Di kuta Sicikecike ini dipimpin oleh seorang raja bernama “Raja Naga Jambe” yang memiliki 2 orang istri, berru Saraan yang kemudian melahirkan 3 orang anak: Raja Udjung, Raja Angkat serta Raja Bintang, dan dari berru Padang melahirkan 4 orang anak: Raja Capah, Raja Gajah Manik, Raja Kudadiri dan Raja Sinamo. Keluarga ini serta penghuni lainnya hidup damai dan rukun, berkecukupan sandang dan pangan karena memang di tanah sekitarnya luas dan subur, menghasilkan panen yang melimpah, dalam istilah Toba “Gabe Naniula, Sinur na Pinahan”. Kenapa kuta yang begitu menyenangkan bisa tiba-tiba menjadi danau? Suatu hari Raja Naga Jambe hendak menanam padi, dan menurut kebiasaan, semua penduduk kuta Sicikecike meninggalkan kuta pergi ke ladang Raja Naga Jambe. Hanya satu orang yang ditinggal karena sakit-sakitan, sudah uzur dan tidak mampu membantu lagi, yaitu beru Saraan, isteri pertama Raja Naga Jambe. Menurut kebiasaan, makanan para peserta dimasak di juma. Makanan untuk orang yang ditinggal di kuta, yakni untuk berru Saraan, di antarkan dari ladang. Tentunya beliau berharap ketika makan siang ada yang mengantarkan makanannya. Nyatanya tidak. Semula sabar menunggu, tetapi sesudah “goling ari” belum juga ada yang mengantar makanannya, sedang beliau sudah merasa sangat lapar. Dia mulai gelisah, tidak sabar, merasa sedih tidak diperdulikan. Air matanya meleleh satu per satu. Diusapnya kucing yang berada dipangkuannya, sambil dengan tangisnya mengadukan nasibnya kepada Tuhan. Tiba-tiba saja, langit yang tadinya cerah berganti turun hujan yang lebat bersama taufan sambung menyambung. Dan ketika itulah kuta Sicikecike dengan segala yang berada di atasnya, rumah dan segala isinya serta nenek tua, berru Saraan dengan kucingnya seolah-olah ditelan bumi, kemudian beralih menjadi danau. Itulah danau Sicikecike. Keanehan danau ini, menurut cerita, airnya senantiasa sampai kepinggir atas danau, tidak pernah melimpah bagaimanapun lamanya dan derasnya hujan dan juga tidak pernah surut walaupun saat musim kemarau. Mereka yang pernah mengunjungi danau itu menyatakan pada hari-hari cerah dapat dilihat bahan-bahan kayu bekas tiang, lantai dan dinding rumah. Bagaimana nasib penduduk kuta Sicikecike itu sesudahnya? Sesudah meratapi nasib malang karena tidak mempunya apa-apa lagi, mereka berpencar mencari tempat hidup baru. Demikian pula dengan keluarga Raja Naga Jambe, beserta ketujuh anaknya. Keturunan dari istri pertama pindah bersama Raja Naga Jambe ke daerah kota Sidikalang, tepatnya di persimpangan jalan Pasar Lama ke Kuta Kalang Simbara. Dari kuta itulah kemudian pindah membangun kutanya sendiri. Udjung pindah ke kuta Kalang Batangberuh, Kalangjehe dan Kalangsimbara, Angkat ke kuta Sidiangkat, Bintang ke kuta Tambun dan kuta Bintang. Kuta yang lama yang tua-tua pernah memberi julukan “Kuta Sitellu Nempu” karena dihuni oleh ketiga kakak beradik, tentunya tidak utuh ditinggalkan dan sisa bangunannya lenyap dimakan waktu. Anak-anak dari berru Padang pindah ke tempat berlainan: Capah ke sekitar kuta Bangun, Kudadiri disekitar kuta Sitinjo sekarang, Gajahmanik pindah ke kuta Binara (sekarang Sunge Raya), sebagian marga Capah pindah dari kuta Bangun ke kuta Lae Meang dan sebagian marga Kudadiri pandah dari kuta Sitinjo ke kuta Keneppen (sekarang Kuta Imbaru). Lain dengan Sinamo. Kalau keenam saudaranya tetap bermukim di daerah Pakpak Keppas, Sinamo pinadh ke sekitar Tinada-Parongil di daerah Pakpak Simsim Sekalipun ketujuh marga ini berlainan tempat tinggalnya, mereka tetap mengakui kuta Sicikecike sebagai asal mereka. Hal itu dibuktikan dengan cara bersama-sama melakukan ziarah. Apa yang diutarakan penulis mengenai kuta Sicikecike, tenggelamnya serta beralih menjadi danau, diketahui dari turunan tua-tua. Jika ada yang kurang atau berlebihan, mohon diberitahu agar segera dapat dikoreksi.
Sumber: Tarombo Marga Udjung Kalang Simbara Penulis: R.U.S. Udjung (+) Disadur oleh: Fredy W Udjung Kabupaten Dairi sekarang adalah sebagian dari tanah Pakpak. Tanah Pakpak terdiri dari 5 daerah: 1. Pakpak Pegagan 2. Pakpak Keppas 3. Pakpak Simsim 4. Pakpak Kelasen 5. Pakpak Boang Di daerah Pakpak Keppas, khususnya di sub daerah Si Tellu Nempu, Kecamatan Sidikalang, tepatnya beberapa kilometer dari kuta Sitinjo tempat persimpangan (simpang tiga) jalan Sidikalang ke Medan dan ke Dolok Sanggul, sekitar kuta Bangun, nampak di kejauhan suatu bukit. Di atas bukit itu ada danau yang disebut danau Sicikecike. Danau ini dulunya adalah sebuah kuta yang bernama kuta Sicikecike, nama yang kemudian menjadi sebutan danau yang dimaksud. Apa sebabnya kuta itu dahulu disebut nama Sicikecike? Apa kekhususannya? Pada zaman itu banyak nama satu kuta disesuaikan dengan keadaan sekitar, sungai, gunung dan lain sebagainya. Cike adalah nama sejenis tanaman yang banyak dipakai menjadi bahan baku menganyam tikar (Tendellen) yang kualitasnya agak kasar. Cike ini tumbuh di tanah yang berair, pinggir sungai atau rawa-rawa. Oleh karena disekitar banyak tumbuh tanaman Cike, maka kuta itu disebut Sicikecike. Kuta Sicikecike terdiri dari 5-6 rumah sesuai dengan kebiasaan di kuta Pakpak, “uga satu bale”, dibangun menurut arsitektur Pakpak, beratap ijuk aren, tiang kayu bundar besar, dinding dan lantai terbuat dari papan tebal kira-kira 2 inci, berkolong antara 1,5 sampai 2 meter dan tanpa menggunakan paku besi, karena memang pada waktu itu belum ada. Rumah-rumah ini biasanya dihuni 6 sampai 8 keluarga. Maka kuta Sicikecike pada zaman itu bisa dikatakan lumayan besar dan ramai. Di kuta Sicikecike ini dipimpin oleh seorang raja bernama “Raja Naga Jambe” yang memiliki 2 orang istri, berru Saraan yang kemudian melahirkan 3 orang anak: Raja Udjung, Raja Angkat serta Raja Bintang, dan dari berru Padang melahirkan 4 orang anak: Raja Capah, Raja Gajah Manik, Raja Kudadiri dan Raja Sinamo. Keluarga ini serta penghuni lainnya hidup damai dan rukun, berkecukupan sandang dan pangan karena memang di tanah sekitarnya luas dan subur, menghasilkan panen yang melimpah, dalam istilah Toba “Gabe Naniula, Sinur na Pinahan”. Kenapa kuta yang begitu menyenangkan bisa tiba-tiba menjadi danau? Suatu hari Raja Naga Jambe hendak menanam padi, dan menurut kebiasaan, semua penduduk kuta Sicikecike meninggalkan kuta pergi ke ladang Raja Naga Jambe. Hanya satu orang yang ditinggal karena sakit-sakitan, sudah uzur dan tidak mampu membantu lagi, yaitu beru Saraan, isteri pertama Raja Naga Jambe. Menurut kebiasaan, makanan para peserta dimasak di juma. Makanan untuk orang yang ditinggal di kuta, yakni untuk berru Saraan, di antarkan dari ladang. Tentunya beliau berharap ketika makan siang ada yang mengantarkan makanannya. Nyatanya tidak. Semula sabar menunggu, tetapi sesudah “goling ari” belum juga ada yang mengantar makanannya, sedang beliau sudah merasa sangat lapar. Dia mulai gelisah, tidak sabar, merasa sedih tidak diperdulikan. Air matanya meleleh satu per satu. Diusapnya kucing yang berada dipangkuannya, sambil dengan tangisnya mengadukan nasibnya kepada Tuhan. Tiba-tiba saja, langit yang tadinya cerah berganti turun hujan yang lebat bersama taufan sambung menyambung. Dan ketika itulah kuta Sicikecike dengan segala yang berada di atasnya, rumah dan segala isinya serta nenek tua, berru Saraan dengan kucingnya seolah-olah ditelan bumi, kemudian beralih menjadi danau. Itulah danau Sicikecike. Keanehan danau ini, menurut cerita, airnya senantiasa sampai kepinggir atas danau, tidak pernah melimpah bagaimanapun lamanya dan derasnya hujan dan juga tidak pernah surut walaupun saat musim kemarau. Mereka yang pernah mengunjungi danau itu menyatakan pada hari-hari cerah dapat dilihat bahan-bahan kayu bekas tiang, lantai dan dinding rumah. Bagaimana nasib penduduk kuta Sicikecike itu sesudahnya? Sesudah meratapi nasib malang karena tidak mempunya apa-apa lagi, mereka berpencar mencari tempat hidup baru. Demikian pula dengan keluarga Raja Naga Jambe, beserta ketujuh anaknya. Keturunan dari istri pertama pindah bersama Raja Naga Jambe ke daerah kota Sidikalang, tepatnya di persimpangan jalan Pasar Lama ke Kuta Kalang Simbara. Dari kuta itulah kemudian pindah membangun kutanya sendiri. Udjung pindah ke kuta Kalang Batangberuh, Kalangjehe dan Kalangsimbara, Angkat ke kuta Sidiangkat, Bintang ke kuta Tambun dan kuta Bintang. Kuta yang lama yang tua-tua pernah memberi julukan “Kuta Sitellu Nempu” karena dihuni oleh ketiga kakak beradik, tentunya tidak utuh ditinggalkan dan sisa bangunannya lenyap dimakan waktu. Anak-anak dari berru Padang pindah ke tempat berlainan: Capah ke sekitar kuta Bangun, Kudadiri disekitar kuta Sitinjo sekarang, Gajahmanik pindah ke kuta Binara (sekarang Sunge Raya), sebagian marga Capah pindah dari kuta Bangun ke kuta Lae Meang dan sebagian marga Kudadiri pandah dari kuta Sitinjo ke kuta Keneppen (sekarang Kuta Imbaru). Lain dengan Sinamo. Kalau keenam saudaranya tetap bermukim di daerah Pakpak Keppas, Sinamo pinadh ke sekitar Tinada-Parongil di daerah Pakpak Simsim Sekalipun ketujuh marga ini berlainan tempat tinggalnya, mereka tetap mengakui kuta Sicikecike sebagai asal mereka. Hal itu dibuktikan dengan cara bersama-sama melakukan ziarah. Apa yang diutarakan penulis mengenai kuta Sicikecike, tenggelamnya serta beralih menjadi danau, diketahui dari turunan tua-tua. Jika ada yang kurang atau berlebihan, mohon diberitahu agar segera dapat dikoreksi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar